GELORA.CO - Mali dilanda kekacauan. Presidennya, Ibrahim Boubacar Keita dan Perdana Menteri Beoubou Cisse serta anggota kabinet ditahan oleh para tentara yang memberontak. Beberapa jam setelahnya, Keita mengundurkan diri.
Dalam pidato singkat yang disiarkan di televisi pemerintah pada Selasa (18/8), Keita yang terlihat lelah dan mengenakan masker mengumumkan pengunduran dirinya.
"Jadi hari ini, elemen tertentu dari angkatan bersenjata kita ingin ini diakhiri melalui intervensi mereka, apakah saya benar-benar punya pilihan?" ujarnya, seperti dikutip Reuters.
Dari laporan Le Journal du Mali, Keita dan Cisse dibawa ke kamp militer Kati yang terletak 15 km barat laut dari ibukota Bamako pada Senin (17/8) pukul 16.30 waktu setempat.
Pada saat itu, truk militer memblokir jalan dari Kati ke Bamako, semua bisnis dan perkantoran ditutup.
Dari gambar yang diunggah di media sosial, terlihat Keita dan Cisse dikelilingi para tentara bersenjata di garnisum Kati.
Belum diketahui dengan jelas siapa yang memimpin aksi pemberontakan tersebut dan siapa yang akan menggantikan Keita atau apa yang menjadi tuntutan para pemberontak.
Namun dalam beberapa bulan terakhir, Mali sudah dilanda protes yang luar biasa atas tuduhan korupsi dan memburuknya keamanan. Para pengunjuk rasa pun meminta Keita untuk mundur.
Koalisi M5-RFP yang berada di belakang unjuk rasa mendukung tindakan para pemberontak. Ratusan pengunjuk rasa anti-pemerintah berbondong-bondong menuju alun-alun di Bamako untuk merayakan dan menyemangati para pemberontak.
Sejumlah negara dan PBB mengutuk aksi penahanan Keita. Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres pada Selasa menuntut pembebasan segera Keita dan seluruh anggota kabinetnya.
"Sekretaris Jenderal mengikuti dengan keprihatinan mendalam perkembangan yang terjadi di Mali, termasuk pemberontakan militer yang memuncak dengan penangkapan Presiden Ibrahim Boubacar Keita dan anggota pemerintahannya hari ini di Bamako," ujar jurubicaranya, Stephane Dujarric.
"Sekretaris Jenderal mengutuk keras tindakan ini dan menyerukan pemulihan segera tatanan konstitusional dan aturan hukum di Mali," tambahnya.
Guterres mengatakan, pihaknya mendukung Uni Afrika dan Komunitas Ekonomi Negara Afrika Barat (ECOWAS) untuk mencarikan solusi damai bagi krisis di Mali saat ini.
Menteri Luar Negeri Jean-Yves Le Drian juga mengatakan Prancis mengutuk sekuat-kuatnya "peristiwa mengerikan" tersebut. (Rmol)