Begitu kata analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun yang mencermati tiap kalimat yang disampaikan Presiden Jokowi.
"Pidato Kenegaraan Jokowi seperti harapan hampa. Di antara ciri harapan hampa adalah melangit lupa pijakan di bumi. Menghayal atau mimpi," ujar Ubedilah Badrun kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (16/8).
Mimpi yang dimaksud Ubedilah ialah harapan pemulihan ekonomi tumbuhn di atas 4 persen yang ditargetkan terjadi dalam beberapa bulan ke depan.
"Jokowi lupa kakinya ada di Solo. Lupa menginjakkan kaki di bumi bahwa saat ini angka pertumbuhan ekonomi Indonesia minus lebih dari 5 persen. Tengoklah rakyat miskin dan pengangguran di Solo, di Jawa, di Jakarta, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Ambon, Bali, Lombok, hingga Papua," urai Ubedilah.
Berdasarkan Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2020 menyebutkan bahwa penduduk miskin mengalami kenaikan, yakni menjadi 26,42 juta orang. Bahkan, pada Agustus ini dipastikan terus mengalami kenaikan. Hal ini diakuinya menjadi PR besar yang menjadi batu sandungan dalam target yang disampaikan dalam pidato.
"Perumpamaan ekonomi saat ini sedang hang seperti perangkat komputer harus di restart atau di rebooting, itu juga perumpamaan yang keliru. Sama sekali tidak tepat karena krisis ekonomi saat ini bukan sekadar diselesaikan dengan pencet tombol restart atau rebooting, tetapi kerusakannya ada pada sistem dan tata kelolanya," jelasnya.
Selain itu, pidato Jokowi juga berlebihan karena membanggakan diri bahwa Indonesia sudah termasuk negara dengan kategori middle income county di saat ekonomi terpuruk dengan angka pertumbuhan minus 5 persen lebih.
"Jokowi sengaja tidak menjelaskan bahwa status middle income country itu dari World Bank yang didasari atas perhitungan Gross National Income (GNI) per-capita Indonesia tahun 2019 lalu, bukan tahun 2020 dimana ekonomi Indonesia saat ini sedang terpuruk," ungkap Ubedilah.
"Itu sama saja seperti Soeharto pidato tahun 1998 lalu bercerita ekonomi Indonesia tumbuh 8,46 persen tanpa menjelaskannya itu hitungan tahun 1997. Tapi Soeharto tidak pidato seperti itu, ia legowo, mengerti sopan santun bernegara dalam keadaan krisis dan ia rela mundur dari kursi Presiden," tandasnya. (*)