GELORA.CO - Kemunculan Kerapatan Indonesia Tanah Air (KITA) yang diklaim sebagai gerakan moral oleh sejumlah tokoh yang dulu mendukung Joko Widodo-Maruf Amin di Pilpres 2019 dinilai sebagai cara yang digunakan rezim otoriter.
Begitulah pandangan yang disampaikan Direktur Visi Indonesia Strategis, Abdul Hamid, karena melihat Gerakan Koalisi Aksi Menyelematkan Indonesia (KAMI) dibully oleh pendukung dan simpatisan pemerintah, yang menurutnya berkaitan dengan KITA.
"Menurut saya cara-cara seperti ini adalah cara klasik rezim otoritarian. Soeharto kala itu sering melakukan cara-cara seperti ini dan sangat disayangkan jika praktik tersebut berlangsung di era Jokowi," ujar Abdul Hamid kepada Kantor Berita Politik RMOL, Sabtu (22/8).
Sebelum KITA, sebelumnya ada KAMI tandingan dengan nama Koalisi Aksi Milenial Indonesia (KAMI).
Seharusnya, menurut Abdul Hamid, pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak mengkonfrontir gerakan KAMI dengan gerakan lain yang secara backgrond pernah mendukung dirinya di Pilpres 2019 silam.
Sebab sebelumnya, Jokowi telah menyatakan diri tidak anti kritik dan mengedepankan asas hak bersuara rakyat. Sebagai contoh dari prinsipnya tersebut, Kepala Negara memberikan tanda kehormatan kepada Pendiri Partai Gelora Fahri Hamzah dan politisi Partai Gerindra Fadli Zon.
"Jokowi jika benar-benar seperti ucapannya saat pemberian anugerah kepada Fachri Hamzah dan Fadli Zon, menghargai demokrasi dan perbedaan, maka harus bisa mengendalikan bawahan dan pendukungnya agar tidak kontra produktif," ungkapnya.
Dengan demikian, Cak Hamid sapaan akrabnya berpendapat, kehadiran KAMI harus dipandang sebagai bentuk kepedulian sebagian anak bangsa terhadap negerinya.
Jadi responlah perbedaan sebagai hal biasa, sangat lumrah dan itu sunnatullah. Buanglah jauh cara-cara stigmatif, jika tak mendukung maka HTI. Jika memprotes kebijakan Jokowi karena sakit hati, tidak diakomodir dan lain-lain," ucapnya.
"Simplikasi seperti itu membahayakan jika terus-terus dilakukan. Karena akhir-akhir ini banyak juga ormas-ormas ke-Islaman yang menolak kebijakan pemerintah semisal NU dan Muhammadiyah dalam beberapa kesempatan kemudian distigma karena tidak kebagian jatah? Sangat berbahaya sekali," demikian Abdul Hamid.(rmol)