Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bea meterai perlu direvisi karena sudah terlalu lama dari Undang-undang (UU) sebelumnya berdasarkan nomor 13 tahun 1985 tentang bea meterai. UU tersebut dinilai sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini.
"Kebijakan tersebut mulai berlaku 1 Januari 1986, berarti sudah 34 tahun belum pernah mengalami perubahan. Sementara itu kondisi dan situasi dalam masyarakat dan perekonomian mengalami perubahan sangat besar dalam 3 tahun terakhir terutama di bidang ekonomi, hukum, sosial dan adanya teknologi informasi dan digital," kata Sri Mulyani saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Senin (24/8/2020).
Kemudian, dinaikkannya tarif bea meterai ini dapat menegaskan keberpihakan pemerintah terhadap kegiatan usaha mikro kecil dan menengah. Dengan bea meterai naik juga diharapkan dapat meningkatkan pendapatan negara di tengah pandemi COVID-19.
"Dibandingkan 2019 penerimaan bea meterai dari RUU bea meterai berada pada kisaran Rp 11,3 triliun atau meningkat Rp 5,7 triliun," ucapnya.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menjelaskan terdapat 6 klaster dalam RUU bea meterai yakni klaster obyek dan non obyek, klaster tarif, klaster saat berutang, klaster subyek dan pemungut bea cukai, klaster pembayaran dan terakhir klaster fasilitas. Dari 6 klaster, baru 4 klaster yang dibahas.
"Mengingat dalam pembahasan RUU bea meterai pada periode 2015-2019 belum selesai, maka dalam rapat pertimbangan program legislasi nasional atau prolegnas dan sesuai keputusan DPR mengenai prolegnas prioritas 2020 maka RUU bea meterai telah disepakati sebagai RUU yang sifatnya carry over. Dengan demikian kita bisa melakukan pembahasannya dengan tetap mengacu kepada yang sudah dibahas sebelumnya," tandasnya. (*)