Pasalnya, jika pemerintah masih membutuhkan jasa swasta dalam hal ini influencer maka patut dipertanyakan fungsi para menteri kabinet selaku pembantu presiden.
Begitu disampaikan Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah saat berbincang dengan Kantor Berita Politik RMOL, Sabtu (22/8).
"Anggaran influencer ini sulit diterima akal sehat, mengingat pemerintah seharusnya tidak memerlukan jasa influencer sebagaimana sektor swasta, kata Dedi Kurnia Syah.
"Reputasi yang dibangun berbasis kinerja sangat cukup melibatkan para menteri dan juru bicara," imbuhnya.
Lagi pula menurut dosen Universitas Telkom ini, jika pemerintah menggelontorkan duit negara untuk para influencer saat masih ada para menteri di kabinet. Ini justru membuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah semakin terdegradasi.
"Dibanding menghimpun influencer, terlebih dalam kondisi sekarang, publik sedikit banyak telah mengenali integritas influencer," ucapnya.
Sebaiknya, kata dia, anggaran puluhan miliar untuk para influencer itu dialokasikan untuk keperluan negara yang lebih produktif dan bisa dirasakan manfaatnya oleh rakyat.
"Dan kenyataan ini menandai gagalnya komunikasi pemerintah dalam menyampaikan kinerja, tentu disayangkan mengingat anggaran sebesar itu semestinya dapat dialihkan pada sektor produktif," demikian Dedi Kurnia Syah.
Dari data yang diungkap ICW, aktivitas yang melibatkan influencer baru muncul pada 2017 dan terus berkembang hingga 2020 dengan total pengadaan sebanyak 40 paket sejak 2017-2020.
Secara umum pemerintah telah menghabiskan anggaran senilai total Rp 1,29 triliun untuk aktivitas digital sejak 2014, termasuk di dalamnya Rp 90,45 miliar yang digunakan untuk pengadaan influencer. (*)