GELORA.CO - Narasi oligarki kekuasaan yang diembuskan mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo menghangatkan deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Tampil sebagai deklator gerakan, Gatot juga menekankan mengenai bahayanya proxy war.
Deklarasi KAMI digelar di Tugu Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (19/8/2020). Gatot hadir bersama deklarator lain mulai dari mantan Ketum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin hingga Rochmad Wahab.
"Salah satu bahaya dari proxy war yang saya katakan diperburuk dengan tumbuh kembangnya oligarki kekuasaan di negeri, kekuasaan dimainkan, dikelola oleh kelompok orang dan tidak beruntung lagi, mereka melakukan dengan topeng konstitusi apakah benar ini terjadi pada negeri kita? Biar rakyat yang menjawab," kata Gatot dalam sambutannya.
Tak hanya bicara soal proxy war dan oligarki kekuasaan, Gatot juga mengungkit pernyataannya pada 2017 lalu soal senjata biologis. Gatot mengatakan penanganan pandemi saat ini tidak mudah. Karena itu, dia meminta semua pihak tidak menggampangkan.
"Kedua, 3 tahun lalu 26 Oktober 2017 setelah pembukaan Kongres International... saat itu saya menyampaikan kita patut mewaspadai adanya senjata biologis massa yang diciptakan untuk melumpuhkan negara lain dan berpotensi menciptakan epidemik. Hari-hari ini kita semua berjuang mengatasi epidemik COVID-19. Saya tidak mengatakan pernyataan saya 3 tahun sepenuhnya tepat, sekali lagi kita sedang menghadapi pandemi dan tidak mudah ditaklukkan. Apalagi respons terhadap ancaman ini dipenuhi sikap menggampangkan dan bahkan lebih fokus pada kepentingan lain yang bisa lebih dulu dikesampingkan," ucapnya.
"Dalam semua karut marut seperti itu ada hak krusial yang harus kita lakukan sebagai bangsa, perlu kita bersatu dalam keyakinan bersama bahwa sebagai bangsa kita tidak boleh dan tidak mau dipecah belah untuk kepentingan apapun. Ingat kita negara kaya dan penuh semangat gotong royong. Di kondisi sulit ini dialami seluruh negara Indonesia punya SDA melimpah dan kekuatan yang luar biasa, Indonesia mempunyai seluruh potensi untuk menjadi negara maju artinya Indonesia akan dapat tempat dari segala kesulitan," lanjut Gatot.
Gatot mengaku hadir dalam acara deklarasi KAMI atas nama pribadi. Dia menyatakan siap bertanggung jawab apabila ada implikasi hukum dari acara tersebut.
"Sebagai inisiator Prof, Rachmad Wahab, Bachtiar Hamzah, MS Kaban, dan lainnya saya tekan di sini sejak pembukaan dalam acara sampai penutupan nanti apabila ada hal-hal berkaitan berdasarkan hukum maka keseluruhannya yang bertanggung jawab adalah saya pribadi Gatot Nurmantyo," tegas Gatot.
Dia lantas menjelaskan alasan pembentukan KAMI. Menurut Gatot, KAMI ingin menjadikan HUT ke-75 RI sebagai langkah untuk menjadikan bangsa Indonesia lebih maju.
"Kami ingin menjadikan momentum kemerdekaan RI untuk lebih maju, dan untuk jujur melihat diri apa yang belum benar dari negeri ini," tuturnya.
Pernyataan Gatot soal oligarki kekuasaan ini menuai beragam reaksi dari sejumlah parpol. PDIP sebagai pengusung utama pemerintahan Presiden Jokowi menganggap wajar munculnya pernyataan tersebut.
"Dalam transisi demokrasi, banyak kalangan berusaha memetakan peta jalan ke depan kira-kira akan seperti apa. Ada yang optimis, antusias dan bergairah, ada yang resah dan galau. Persepsinya macam-macam yang dalam iklim dan tatanan demokrasi hendaknya dipahami sebagai hal yang wajar-wajar saja," ujar politikus senior PDIP, Hendrawan Supratikno kepada wartawan, Selasa (18/8).
Hendrawan memaklumi ada pihak-pihak yang tak bisa membedakan maksud dari konsolidasi demokrasi dengan oligarki. Oleh karena itu, PDIP sebagai pro-pemerintah merasa tak perlu buru-buru memberi peringatan kepada Gatot Nurmantyo.
"Konsolidasi demokrasi bisa dipersepsi sebagai oligarki, hanya apabila keputusan-keputusan politik tidak berdasar konstitusi dan tidak berpihak kepada kepentingan negara bangsa. Demokrasi dan toleransi selalu berjalan bersamaan. Jadi kita tak perlu meniup 'peluit penalti' terburu buru," jelas Hendrawan.
Pernyataan berbeda disampaikan Wasekjen PPP, Achmad Baidowi (Awiek). Dia meminta meminta Gatot Nurmantyo menjelaskan tudingan oligarki kekuasaan tersebut.
"Saya kira Pak Gatot harus menjelaskan secara terbuka dan jelas terkait tudingan oligarki kekuasaan," kata Wasekjen PPP, Achmad Baidowi (Awiek), kepada wartawan, Selasa (18/8).
Awiek mengatakan kekuasaan di Indonesia tak dikelola oleh sekelompok orang. Namun, dikelola melalui hasil Pemilu 2019 yang sah secara konstitusional.
"Dan kekuasaan di Indonesia ini bukan dikelola oleh sekelompok orang, tapi dikelola oleh pemerintahan koalisi hasil Pemilu 2019 yang konstitusional," ujar Baidowi.
Wakil Ketua Baleg DPR RI itu menjelaskan alasannya soal Indonesia tak dikelola oleh sekelompok orang. Dia juga mencontohkan Presiden Jokowi yang mengajak Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto bergabung dengan pemerintah usai Pilpres 2019.
"Karena konsekuensi kontestasi pemilu pasti ada yang kalah tidak semuanya menang. Dan dalam menjalankan pemerintahan, Pak Jokowi justru mengajak Prabowo yang notabene lawan politik di Pemilu 2019," katanya.
Sementara itu, elite PKB Abdul Kadir Karding menilai KAMI bentukan Din Syamsuddin dkk menjadi wadah para tokoh yang kontra dengan Jokowi pada Pilpres 2019. Karding menyebut mereka menyimpan dendam lama kepada Jokowi.
"Menanggapi deklarasi KAMI yang hari ini dilaksanakan dan dihadiri beberapa tokoh yang notabene sebenarnya sejak awal sudah berbeda dengan pemerintahan Jokowi, tepatnya pada saat Pilpres, menunjukkan bahwa beliau-beliau ini tidak siap kalah, dan tidak siap menang," ujar Abdul Kadir Karding kepada wartawan, Selasa (18/8).
"Kalau melihat daftar nama sebagian besar adalah orang-orang yang kecewa ketika Pilpres terdahulu," sebut Karding.(dtk)