GELORA.CO - Anggaran belanja pemerintah pusat untuk influencer mencapai Rp 90,45 miliar dinilai sangat berpotensi digunakan para influencer melakukan perundungan atau membully kelompok kritis di media sosial.
Kemungkinan itu disampaikan analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun menanggapi temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) bahwa di era Joko Widodo sebanyak Rp 1,29 triliun anggaran belanja pemerintah digelontorkan untuk aktivitas digital, termasuk untuk influencer sebesar Rp 90,45 miliar.
"Lebih parah dari itu semua, uang rakyat Rp 90,45 miliar tersebut berpotensi digunakan oleh buzzer untuk membully kelompok kritis," ujar Ubedilah Badrun kepada Kantor Berita Politik RMOL, Jumat (20/8).
Hal tersebut, kata Ubedilah, merupakan ciri-ciri rezim neo-otoriterianisme yang rela menggelontorkan uang banyak untuk membungkam kelompok kritis.
"Itu salah satu ciri rezim neo-otoriterianisme, penguasa membungkam kelompok kritis melalui media sosial dengan menggunakan buzzer. Ini artinya pemerintah secara sengaja menggunakan media sosial untuk merusak kualitas demokrasi," jelas Ubedilah.
Ubedilah pun berharap kepada pihak yang berwenang untuk segera membongkar langkah pemerintah membiayai buzzer. Mulai dari proses tender, siapa pemenang tender, dan apa yang dikerjakannya.
“Jika tidak jelas patut diduga itu pola bagi-bagi uang untuk para buzzer pendukung Jokowi, itu ada potensi besar korupsi atau penyalahgunaan anggaran. Saya kira DPR perlu bersuara dan panggil menteri terkait," pungkasnya. (Rmol)