Menurut Prof Jimly, 2 Kubu Berseteru Berkaitan dengan Surga dan Neraka

Menurut Prof Jimly, 2 Kubu Berseteru Berkaitan dengan Surga dan Neraka

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (UI) Prof Jimly Asshiddiqie sependapat dengan anggapan bahwa pelaksanaan Pilpres di Indonesia memunculkan polarisasi politik identitas yang berbahaya karena cenderung memecah belah masyarakat.

Kondisi itu menurutnya, antara lain dipengaruhi oleh aturan di UU Pemilu, salah satunya presidential threshold 20 persen yang mengerucutkan pasangan calon capres-cawapres hanya ada dua.

Akibatnya, desain sistem pemilihan presiden yang menurut UUD dua ronde, itu juga tidak akan pernah terlaksana karena calonnya cuma dua calon tersebut.

"Dengan polarisasi dua begini, itu juga sangat memecah belah. Terbukti sampai sekarang," ucap Prof Jimly dalam program NGOMPOL yang tayang di channel YouTube JPNN.com, Minggu (8/8).

Polarisasi itu pun menurut Anggota DPD RI ini, berbahaya. Apalagi perdebatan bangsa ini sejak tahun 1945, dan tahun 1956, bolak-balik antara kubu nasionalis dan kubu Islam atau agama.

"Waktu di konstituante, makanya UUD tidak jadi dibuat, lalu terpaksa kembali ke UUD 1945. Kegagalannya kan karena kubu-kubu ini juga. Kubu identitas," jelasnya.

Masalah kubu-kubuan ini menurutnya sudah biasa di Amerika Serikat, tetapi di sana antara partai yang dekat dengan buruh dan partai yang dekat dengan pengusaha sehingga objektif. Sedangkan di Indonesia diibaratkannya antara surga dan negara.

"Kalau ini (Indonesia) kan enggak. Berkaitan dengan surga dan neraka. Jadi repot, enggak ada diskusi gitu lho," kata tokoh yang telah melahirkan puluhan buku terkait ketatanegaraan.

Tetapi apakah politik identitas ini masih akan berlanjut hingga Pilpres 2024? Prof Jimly berharap kondisinya bisa membaik.

"Kalau polarisasinya tidak begini lagi, mungkin bisa membaik. Tetapi itu kan harus direkayasa dalam jangka panjang (melalui ketentuan di UU Pemilu, red). Tidak bisa cepat," tandasnya. [jp]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita