GELORA.CO - Tangkapan layar chat WhatsApp (WA) dosen 'Kok Kamu Atur Saya' ramai diperbincangkan di media sosial Twitter. Percakapan ini mengingatkan etika yang harus dipatuhi baik dosen maupun mahasiswa saat berkomunikasi lewat media sosial untuk menghindari miskomunikasi.
Tangkapan layar percakapan antara dosen dan mahasiswa di-posting di akun Twitter @collegemenfess. Dari tangkapan layar, tampak mahasiswa bertanya terkait draf skripsi yang dia kirim kepada dosen tersebut.
"Assalamualaikum. Maaf mengganggu waktunya, bu. Izin bertanya, untuk draft skripsi yg (disensor) kirim, apakah ada yg harus diperbaiki? Akan (sensor) perbaiki secepatnya, bu. Terima kasih," tulis mahasiswa tersebut.
Sang dosen kemudian menjawab, "Sdh perbaiki???? Klu sdh saya acc saja."
Kemudian dibalas oleh mahasiswa, "Sudah, bu, saya sudah kirim skripsi yg sudah saya perbaiki ke ibu. Kira-kira kapan saya bisa menemui ibu untuk tanda tangan di lembar persetujuan ya, bu? Terima kasih."
Pesan itu berbalas oleh dosen sebagai berikut, "Lho kok kamu mengatur saya. Etika km dmn. Baca sms yg km kirim. ok bye."
Si mahasiswa kemudian membalas pesan dengan minta maaf, " Maaf bu, saya tidak bermaksud seperti itu."
Bu dosen lalu mengirim pesan berbunyi, "Jgn sms saya lg ya."
Mahasiswa itu kemudian kembali meminta maaf, "Maaf bu, saya tidak bermaksud untuk mengatur. Maaf sekali, bu."
"Maaf, bu, saya tidak bermaksud untuk mengatur ibu. Saya tidak bermaksud...(tangkapan layar terpotong)"
Foto tangkapan layar itu dilengkapi dengan cuitan, "gue nangis banget selama ini ngga pernah diajar beliau. Kemarin beliau jadi dosen tamu di sidang gue. dosen lain ngga ada yg respon begitu. Gue nangis bgt."
Posting-an itu ramai dibahas netizen. Pada Kamis (20/8) pukul 12.05 WIB, postingan itu sudah di-retweet dan dikomentari sebanyak 6.700 kali dan disukai 15 ribu netizen.
Kesalahan persepsi pada saat menerima pesan tak jarang dialami oleh mahasiswa maupun dosen pada kasus bimbingan tugas akhir skripsi. Terlebih, saat ini proses bimbingan dialihkan secara virtual.
Pakar komunikasi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Prof Suranto menyebut komunikasi melalui virtual berpotensi miskomunikasi. Dia pun mengingatkan agar memposisikan diri seolah-olah sedang berhadapan muka secara langsung antara komunikator dengan komunikan merupakan kunci yang tepat dalam berkomunikasi lewat pesan singkat.
"Ya meskipun ini melalui media digital, kita, kedua belah pihak, dalam hal ini adalah dosen pembimbing dengan mahasiswa, harus tetap seolah-olah kita itu berhadapan langsung," jelasnya saat dihubungi detikcom, Kamis (20/8/2020).
Dengan memposisikan diri demikian, kata Suranto, baik komunikator maupun komunikan dapat memperhatikan norma dan etika yang baik. Kesepakatan waktu juga menjadi hal penting dalam etika komunikasi, terlebih dalam bimbingan skripsi mahasiswa.
Suranto lalu mencontohkan, sebuah kata-kata atau kalimat bisa saja dianggap terlalu kasar bahkan tidak sesuai dengan konteks. Padahal, seandainya berhadapan secara langsung, hal-hal tersebut dapat diminimalkan melalui penjelasan dengan bahasa yang baik. Lalu bagaimana membangun sense of human dalam komunikasi virtual?
Suranto mengatakan WA menyediakan fitur emoticon yang dapat digunakan untuk membantu membangun sense of human. Namun kita harus tetap memastikan bahwa lawan bicara mempunyai pemahaman yang sama terhadap emoticon tersebut.
"Di WhatsApp itu ada fasilitas emoticon. Itu bisa kita pilih yang sesuai. Cuma, masalahnya, itu kita harus mempertimbangkan orang yang kita kirimi itu paham nggak, sependapat nggak pemaknaannya terhadap simbol, gambar dalam emoticon itu," ia melanjutkan.
Di sisi lain, umumnya dosen pembimbing skripsi merupakan dosen senior. Beberapa topik yang ramai di kalangan mahasiswa sering kali tidak menjadi perbincangan bagi para dosen. Perbedaan isu tersebut juga turut memicu timbulnya mis-interpretasi.
"Orang-orang senior itu orang gaptek. Apa yang suka populer menjadi wacana keseharian anak-anak mahasiswa, kadang orang-orang tua itu nggak dong (paham). Karena nggak dong, bisa menimbulkan mis-interpretasi itu," terang Suranto.
Terpisah, Psikolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Faturochman mengatakan dugaan miskomunikasi antara mahasiswa dengan dosen itu terjadi karena beda cara berkomunikasi masing-masing generasi. Selain itu, kompleksitas substansi pesan hingga faktor psikologis komunikan dan komunikator juga berpengaruh terhadap proses komunikasi.
"Kita ini semua berada dalam kondisi cemas. Kita memiliki kecemasan yang tertekan, tersimpan, atau pura-pura tidak disadari. Nah itu konteksnya. Jadi itu akan membuat komunikasi itu jadi tidak mudah," kata Prof Faturochman saat dihubungi detikcom, Kamis (20/8).
Untuk meminimalisir miskomunikasi itu, Faturochman membagikan tips untuk mengatasi kesalahpahaman dalam berkomunikasi. Yang pertama, baik dosen maupun mahasiswa seyogyanya bisa saling memahami masalah antar generasi. Yang kedua, belajar untuk memperbaiki karena semuanya membutuhkan waktu.
"Substansi juga dilihat, makin kompleks substansinya juga perlu mempelajari. Mengangkat substansi menjadi lebih mudah dipahami," lanjutnya.
Ketiga, memahami kondisi terutama masalah psikologis yang saat ini dialami akibat pandemi COVID-19. Keempat, ketika terjadi ketegangan dalam komunikasi, ada baiknya untuk berhenti sebentar dengan memberikan jeda waktu. Hal tersebut juga dapat membantu untuk menjaga komunikasi.
"Kalau tetap menjaga komunikasi lama-lama jadi tahu style-nya, jadi tahu ini kayaknya nggak pas waktunya. Artinya butuh waktu untuk paham," jelas Faturochman.
"Kalau sudah tinggi jeda saja, nanti minta maaf atau nuwun sewu dulu. Nanti sudah biasa aja," pungkas Faturochman.(dtk)