GELORA.CO - Pengamat politik Hendri Satrio (Hensat) menilai kehadiran Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dalam Kongres Luar Biasa (KLB) Gerindra sebagai sebuah nostalgia politik. Hensat menyebut kehadiran Megawati sebagai sinyal koalisi PDIP dan Gerindra pada pemilu mendatang.
Hensat awalnya memaparkan sifat orang Indonesia yang kata dia mudah lupa dan suka bernostalgia. Dia menyebut kehadiran Megawati dalam KLB Gerindra bisa dikatakan cerminan dari sifat tersebut.
"Memang menarik kehadiran Megawati pada saat pengukuhan Prabowo sebagai Ketua Umum Gerindra ya. Kalau saya melihatnya seperti ini, ini sebagai orang Indonesia, orang Indonesia itu sifatnya mudah lupa, mudah memaafkan dan suka nostalgia. Megawati hadir di acara Gerindra ini memanfaatkan suka nostalgianya orang Indonesia," kata Hensat kepada wartawan, Minggu (9/8/2020).
Hensat mengatakan pertemuan itu juga bisa dikaitkan dengan peluang koalisi Gerindra dan PDIP pada Pilpres 2024 mendatang. Namun pakar politik Universitas Paramadina itu juga menyinggung peluang koalisi Puan Maharani dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) pada Pilpres nanti.
"Sehingga kalau kemudian menyatakan memprediksi apakah ini merupakan ini penjajakan koalisi ya mungkin saja, walaupun mereka belum pernah menang. Jadi kalau PDIP dan Gerindra belum pernah menang (Pilpres)," tutur Hensat.
"Justru menurut saya kalau secara sejarah sebelumnya kan AHY ketemu dengan Mbak Puan beberapa hari yang lalu justru kalau PDIP dengan Demokrat kalau berkoalisi ini dua-duanya partai yang sejarah menang dalam Pilpres. Menurut saya justru dalam sejarah lebih kuat Demokrat dan PDIP, tapi kalau kemudian mereka penjajakan lagi PDIP Gerindra ya mungkin saja, kan selama ini kita mendengar calon presiden mereka mungkin Prabowo-Puan kan digadang-gadang ya bisa saja itu terjadi," sambungnya.
Lebih lanjut, Hensat menilai kehadiran Presiden ke-5 RI juga sebagai angin segar dalam perpolitikan Indonesia. Hensat menyebut Gerindra juga sudah sepenuhnya diterima di koalisi pemerintah.
"Nah tapi yang jelas kehadiran Megawati jelas merupakan angin segar bagi perpolitikan Indonesia, artinya Gerindra sudah sepenuhnya diterima sebagai bagian dari koalisi pemerintah," sebutnya.
PDIP menurut Hensat berusaha menjaga hubungan baik dengan Gerindra. Salah satu bentuk keharmonisan itu adalah koalisi dalam Pilkada 2020.
"Setidaknya saat ini PDIP berusaha menjaga kemesraan dengan Gerindra, karena bahkan sebelumnya Pak Prabowo pidato berseloroh bahwa untuk di Pilkada 2020 Gerindra paling banyak berkoalisi dengan PDIP. Ya jadi menurut saya ya hal yang positif mungkin diperkirakan bagi PDIP mungkin berhitungnya adalah kalau dengan Gerindra mereka bisa menang lagi, ya kita liat aja," tutur Hensat.
Jika berbicara dengan koalisi di 2024, Hensat menilai hal masih itu terlalu jauh meski bisa saja dikaitkan. Hensat memaknai kehadiran Megawati di acara Gerindra itu bahwa kedua belah pihak sudah melupakan perjanjian 'Batu Tulis'.
Perjanjian 'Batu Tulis' diketahui dibuat dalam pertemuan di Batu Tulis, Bogor, Jawa Barat, pada 15 Mei 2009 antara PDIP dan Gerindra waktu itu dan menyepakati pasangan Megawati dan Prabowo. Isinya antara lain Megawati bakal mendukung Prabowo pada Pilpres 2014.
"Tapi menurut saya kalau kita berbicara 2024, boleh-boleh saja penjajakan itu dilakukan masih terlalu jauh. Kenapa saya mengatakan mudah lupa dan mudah memaafkan karena ada hal yang dimaafkan oleh Pak Prabowo yaitu perjanjian batu tulis yang sempat menjadi polemik luar biasa pada 2014 lalu," tuturnya.
"Pak Prabowo sudah melupakan perjanjian 'Batu Tulis' yang katanya pernah ada itunya. Ini udah move on nampaknya Prabowo dan Megawati melihat 2020 gimana," sambungnya.
Namun demikian, Hensat menyebut jika PDIP dan Gerindra akan bergabung pada Pilpres 2024 nanti, maka akan terbentuk koalisi yang kuat secara suara. Tetapi, Hensat beranggapan bahwa saat ini PDIP dan Gerindra lebih fokus kepada Pilkada 2020.
"Mengapa ini kalau jadi koalisi, akan menjadi koalisi yang kuat sekali karana koalisi 3 besar di DPR, dan koalisi 3 besar secara suara. Tapi ya nanti kita lihat lagi sebetulnya salah satu hal yang menjadi triger utama terjadinya koalisi itu adalah threshold presiden, kalau presiden thresholdnya masih 20 persen ya itu pasti akan kecil sekali ada koalisi-koalisi lain," sebut Hensat.
"Ini sih pragmantis dari Gerindra untuk Pilkada 2020 saya lihat. Karena kalau 2024 masih way terlalu jauh. Karena waktu perjanjian 'Batu Tulis' itu baru terkuaknya 2013 pada saat pak Jokowi maju. Harusnya sih Gerindra mencatat betul bahwa langkah-langkah politik itu tidak bisa diperhitungkan jauh-jauh tapi harusnya diperhitungkan dekat-dekat," kata dia.(dtk)