GELORA.CO - Sebuah media berbasis di India, ZEE News menyebut, Presiden Recep Tayyip Erdogan berusaha untuk menggantikan popularitas dari Mustafa Kemal Ataturk yang menjadi pendiri Republik Turki yang sekuler.
Melalui artikel bertajuk "President Erdogan wants to replace Mustafa Kemal Ataturk as Turkey's most popular leader" yang dirilis pada Minggu (30/8), media tersebut mengatakan Ataturk selama ini adalah pemimpin Turki yang paling popular di India karena mampu menyatukan persahabatan Indo-Turki.
"Namun, warisannya terancam di negara asalnya sendiri karena Erdohan sedang mengerjakan agenda ambisius untuk memproyeksikannya sebagai pemimpin tertinggi Turki dan merongrong warisan Ataturk," tulis Manish Shukla dalam artikel tersebut.
Satu hal yang menunjukkan bahwa Erdogan berusaha "menghancurkan" warisan Ataturk adalah dikonversikannya Aya Sofya menjadi masjid.
Dalam konversi tersebut, Shukla mengatakan, Erdogan berhasil mengendalikan semua institusi di Turki. Misalnya, ketika Kepala Direktorat Agama Turki Diyanet, Ali Erbas menyerang Ataturk karena mengubah masjid Aya Sofya menjadi museum.
Selain itu, Dewan Negara juga mengkritik keputusan Ataturk karena mengubah situs Islam menjadi musem hingga akhirnya membatalkan keputusan tersebut.
Mengutip beberapa analis, Shukla menjelaskan, Erdogan telah mengambil alih institusi Turki untuk membangun kembali otoriternya.
"Penduduk Turki serta dunia memperhatikan pola bagaimana Erdogan telah mengambil alih institusi negara Turki untuk membangun kendali otoriternya. Diyanet serta Dewan Negara adalah dua lembaga besar yang telah bertindak sebagai boneka Erdogan untuk membantunya memenuhi ambisinya," ujarnya.
Contoh lainnya adalah ketika pemerintahan Erdogan melarang perayaan Hari Kemenangan yang jatuh pada 30 Agustus karena alasan pandemik Covid-19.
Padahal, Hari Kemenangan adalah salah satu hari terpenting ketika Turki menang dalam Pertempuran Dumlupinar dari Yunani pada 1922 dan Ataturk memberikan pidato bersejarahnya.
"Kritikus dan partai oposisi mengutuk Erdogan dengan alasan Covid-19, perayaan Hari Kemenangan telah ditinggalkan, namun masjid Aya Sofya dibuka untuk shalat. Juga, hari-hari penting lainnya masih dirayakan, termasuk peringatan Pertempuran Manzikert dan upaya kudeta 15 Juli," sambungnya.
Upaya Erdogan untuk "menghapus" sejarah Kemal Ataturk adalah dengan memindahkan gerbong kereta putih yang sering digunakannya dari pajangan di depan terminal kereta Izmir pada 21 Agustus.
Walaupun banyak masyarakat sipil yang menolak pemindahan tersebut, Erdogan tidak mengembalikannya.
Kendati begitu, upaya-upaya Erdogan tersebut mendapatkan banyak kecaman, kritik, dan protes dari oposisi dan masyarakat Turki.
Partai politik seperti Partai Rakyat Republik (CHP) dan Partai Baik (IVI) telah membalas Erdogan dengan cara yang pedas karena melarang perayaan Hari Kemenangan dan merusak citra Ataturk.
Demikian pula, Ataturkcu Dusunce Dernegi, sebuah asosiasi yang menangani pemikiran Ataturkist, telah mengajukan petisi ke pengadilan terhadap keputusan pelarangan perayaan 30 Agustus.
Asosiasi tersebut juga berkampanye menentang penghapusan gerbong kereta putih Ataturk dari terminal kereta lzmir. Lebih lanjut, sebuah kelompok hukum terkemuka, Adana Bar Association telah mengajukan gugatan pidana terhadap kepala Diyanet Ali Erbas berdasarkan undang-undang "Hukum Mengenai Kejahatan yang Dilakukan terhadap Ataturk" atas komentarnya terhadap Ataturk tentang mengubah Aya Sofya menjadi museum.
"Namun, perlawanan yang kuat dari partai oposisi dan kelompok masyarakat sipil merupakan indikasi bahwa jalan tidak akan mudah bagi Erdogan karena tidak mungkin menghapus Mustafa Kemal Ataturk dari hati nurani masyarakat Turki," sambung Shukla.
Selama masa pemerintahan Kemal Ataturk, Turki dikenal memiliki kedekatan dengan India. Namun, setelah Erdogan berkuasa hubungan keduanya mulai renggang.
Renggangnya hubungan Turki dan India ditandai ketika Erdogan mendukung Pakistan atas sengketa wilayah Jammu-Kashmir. []