GELORA.CO - Setidaknya 70 dokter dan 50 perawat dilaporkan meninggal akibat virus corona di Indonesia, dengan ratusan petugas kesehatan lainnya terinfeksi penyakit tersebut saat memerangi pandemi.
Dalam sebuah laporan pada Kamis (30/7) lalu, Media Australia, Sydney Morning Herald (SMH), menyoroti masalah ini, dan mengungkap kelemahan pemerintah Indonesia dalam melakukan tes regular kepada para petugas medisnya di garis depan.
Dalam laporannya, SMH mengutip Asosiasi Medis Indonesia, yang memperkirakan bahwa antara 200 hingga 300 dari 160.000 dokter di Indonesia terinfeksi virus corona. Di minggu kedua pada Juli saja, 14 dokter meninggal karena penyakit tersebut.
Sedangkan Asosiasi Perawat Nasional mengatakan bahwa setidaknya 300 dari 1,3 juta perawat di tanah air tertular penyakit itu, tetapi memperingatkan angkanya bisa lebih tinggi. Dalam kedua kasus tersebut, data yang akurat tidak tersedia.
Asosiasi tersebut, lanjut SMH, menyerukan pengujian rutin terhadap pekerja medis, jaminan akses ke alat pelindung diri (APD) dan pendidikan serta pelatihan yang lebih tinggi untuk memperlambat penyebaran penyakit.
Indonesia mencatat 123.503 kasus virus corona hingga Sabtu (8/8), sementara 5.658 orang dinyatakan meninggal akibat Covid-19. Namun ahli epidemiologi memperkirakan tingkat infeksi dan kematian yang sebenarnya bisa jauh lebih tinggi karena tingkat pengujian yang relatif rendah di Indonesia, baru sekitar 5.200 per 1 juta orang.
Jumlah kasus harian juga meningkat selama lebih dari sebulan, menyusul keputusan pemerintah untuk mulai melonggarkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada awal Juni lalu. Rata-rata infeksi harian di Indonesia sekitar 1.600 kasus per hari. Selain itu, 2.473 kasus baru pada Jumat (7/8) kemarin, adalah yang tertinggi kedua hingga saat ini.
Dokter Erlina Burhan, juru bicara Covid-19 untuk Asosiasi Medis, mengatakan bahwa pada masa-masa awal pandemi, kekurangan alat pelindung diri (APD) menjadi masalah utama bagi pekerja medis, tetapi hal itu mereda. “Awal pandemi, dokter kelelahan dan daya tahan tubuh turun. Jumlah pasien turun pada Mei dan Juni, tapi mulai Juli kami menerima pasien lagi di RS Persahabatan,” katanya.
Sedangkan Dr Zubairi Djoerban, yang juga dari Asosiasi Medis, menyayangkan tidak adanya tes secara rutin untuk petugas kesehatan. “Tes dilakukan hanya jika ada kasus. Seperti di rumah sakit saya (rumah sakit rujukan swasta), satu karyawan terinfeksi Covid-19 kemudian semua pekerja rumah sakit, tidak hanya dokter, menjalani tes PCR. Gratis, gratis, gratis, dilakukan oleh Dinkes Jakarta,” ujarnya. “Saya pikir semua pekerja medis di rumah sakit dan di klinik kesehatan harus melakukan tes usap secara teratur dan itu harus gratis.”
Harif Fadhillah, ketua Asosiasi Perawat, mengatakan bahwa anggotanya mengeluhkan kurangnya tes reguler untuk pekerja di garis depan. “Menurut saya penting untuk dilakukan tes berkala. Pada awal Covid-19 perawat diberikan tes PCR tapi hanya satu kali saja. Kami tidak melakukan tes lagi. Seharusnya tes PCR berkala, lakukan setiap dua minggu,” katanya.
Kekurangan APD yang dilaporkan pada masa-masa awal pandemi, bahkan ada laporan pekerja medis yang mengenakan jas hujan murah karena kurangnya APD pada Maret lalu, sudah teratasi menurut Harif. “Pemerintah juga harus menyediakan lebih banyak APD. Kami tidak memiliki masalah APD sekarang, tetapi harus diingat bahwa pandemi masih panjang.”
Para pekerja medis garis depan di seluruh dunia diserang oleh Covid-19. Pada akhir April di Italia, misalnya, diperkirakan 150 dokter meninggal karena penyakit tersebut. Pada akhir Mei, Guardian melaporkan setidaknya 200 pekerja medis meninggal di Inggris, dan pada Juni, Washington Post melaporkan bahwa setidaknya 400 pekerja medis meninggal di Amerika Serikat. [])