Oleh:M. Rizal Fadillah
SUDAH berbau nepotisme yang merusak tatanan ketatanegaraan, kini pendukung nampak percaya diri seolah Gibran-Teguh bakal menjadi calon tunggal wali/wakil walikota Surakarta.
Hampir semua partai politik telah berhasil "ditaklukkan" oleh pengaruh ayahanda Presiden. Dugaan ini sangat beralasan.
Keyakinan demikian menyebabkan munculnya gagasan atau usul agar Presiden Jokowi mengeluarkan Keppres soal Pilkada 2020 yang kontennya bahwa pasangan calon tunggal kepala daerah dan wakil kepala daerah di Pilkada 2020 ditetapkan saja secara langsung tanpa melalui pencoblosan.
Usul itu dikemukakan oleh BRM Kusumo Putro, Inisiator Gerakan Relawan Rakyat untuk Kota Surakarta alias Garuda.
Alasannya adalah adanya bahaya pandemik Covid-19 serta untuk menghemat anggaran yang dapat dialihkan pada kebutuhan lain. Menurut pendukung Gibran-Teguh ini, pilkada mendatang tidak menjamin terbebas dari munculnya klaster baru Covid-19.
"Saya juga menilai KPU Solo belum siap melaksanakan pilkada dalam kondisi pandemik Covid-19". Kusumo Putro menyebut bahwa belum ada sosialisasi mekanisme dan tata cara Pilkada Solo yang baik dan aman.
Sesungguhnya soal alasan penghematan anggaran dan bahaya pandemik Covid-19 cukup rasional, hanya solusinya tidak rasional. Proses pemilu tetap dijalankan tetapi tanpa pencoblosan.
Aneh, semestinya jika bersikap konsisten maka solusinya adalah penundaan sampai pandemik reda.
Usul pasangan calon tunggal untuk dapat dikeluarkan Keppres agar langsung ditetapkan sebagai kepala/wakil kepala daerah adalah usul yang lucu dan licik.
Lucunya, bagaimana mungkin ada konsep "penetapan" pada "pemilihan" kepala daerah yang tanpa pencoblosan.
Liciknya, diduga kuat dasar usulan adalah kepentingan bahwa hanya akan ada satu pasangan saja yaitu Gibran-Teguh. Konfigurasi partai politik menunjukkan bahwa mayoritas partai mendukung atau mengusung pasangan putra Presiden Jokowi ini.
Suasana yang "dipaksakan" harus terealisasi pilkada pada bulan Desember 2020 pada situasi pandemik Covid-19 ini dinilai sarat kepentingan. Banyak keluarga atau kerabat dari pejabat negara yang maju untuk memperebutkan kursi bupati atau walikota.
Jika pemerintah pusat serius untuk mempertimbangkan aspek keamanan dan kesehatan serta mencegah munculnya klaster baru Covid-19, maka Pilkada 2020 sudah selayaknya ditunda.
Kasus usulan Keppres "penetapan" tentu ngawur. Gibran yang digadang-gadang "harus" menjadi walikota ternyata diperjuangkan dengan segala cara.
Ini bagian dari politik nepotisme yaitu mendahulukan kekerabatan ketimbang kemampuan. "Nepos" artinya "cucu" atau "keponakan" yang menggambarkan keluarga dekat. Aspek kemampuan dikesampingkan.
Nepotisme secara hukum telah dilarang dan harus diberantas. Bukan justru di "keppres"-kan.
Pilkada "Gibran" ini semakin ngawur saja.
(Pemerhati politik dan kebangsaan.)