GELORA.CO - Masyarakat diminta untuk berhati-hati dalam mengkonsumsi obat-obatan atau ramuan herbal yang diklaim dapat melawan virus corona atau menyembuhkan COVID-19.
Ketua Konsorsium Riset dan Inovasi COVID-19 Kemenristek, Prof Ali Ghufron Mukti, mengatakan, masyarakat sebenarnya tak perlu minum obat atau ramuan apa pun bila antibodinya baik. Menurut dia, apabila seseorang memiliki antibodi atau imunitas yang baik, maka tubuh dengan sendirinya melawan virus corona.
"(Melawan) COVID-19 kalau antibodi dia bagus, daya tahan tubuh, dia bagus, ndak usah minum (obat) apa-apa. Daya tubuhnya bagus ya bisa menghancurkan virusnya. Itu lebih bagus daya tahan tubuhnya daripada pertahanan virusnya, virusnya juga mati. Jadi enggak usah minum apa-apa gitu," ujar Ali saat diskusi virtual bersama BNPB, Kamis (6/8).
Jika masyarakat menemukan obat atau ramuan herbal yang berkhasiat, kata Ali, harus dibarengi dengan adanya izin edar dan uji klinis dari BPOM. Ia menegaskan hanya BPOM yang dapat menguji klinis suatu obat untuk mengetahui khasiatnya.
"Kalau dia jamu tentu ada proses izin edarnya nah nanti daftar di BPOM. Nah nanti kalau dia, saya mengaku, kalau saya punya bawang atau apa gitu, nah kemudian dia katakan ini sebagai obat herbal berstandar, maka harus ada uji paling tidak uji lab. Bener tidak (khasiatnya)?" ungkap Ali.
Tips Agar Tak Tertipu Obat yang Diklaim Sembuhkan COVID-19
Ali kemudian menjelaskan tips agar masyarakat tak tertipu dengan klaim sepihak mengenai khasiat suatu obat atau ramuan herbal. Salah satunya, masyarakat dapat mengecek jenis obat hingga izin edar melalui situs BPOM.
Di situs itu, kata Ali, nantinya akan terlihat jelas seluruh spesifikasi obat mulai dari khasiat hingga kandungannya. Ia menegaskan, obat yang sudah terdaftar di BPOM untuk khasiat tertentu tak bisa digunakan untuk khasiat selain yang sudah tertera.
"Terdaftarnya lalu sebagai (obat) apa, kalau kemudian klaimnya itu katakanlah untuk obat kuat gitu atau jamu kuat, kalau dia kemudian klaim ini juga untuk COVID-19 nah itu tidak bisa. Karena biasanya satu kali daftar itu untuk efektivitasnya sendiri, ndak bisa ini satu obat untuk semua penyakit, ndak bisa itu, enggak ada di dalam pendaftaran seperti itu," kata Ali.
Langkah kemudian yang harus diperhatikan masyarakat yakni nomor pendaftaran obat, termasuk institusi mana saja yang terafiliasi dalam pembuatan obat tersebut. Bila kedua faktor itu tak terpenuhi, dapat dikatakan obat belum teruji untuk dikonsumsi.
"Kedua kalau tidak ada nomor pendaftaran tidak ada nomor BPOM ini meragukan. Efeknya jadi bukan setiap obat atau jamu tidak ada efek samping, pasti ada, semua yang kita masukkan ke tubuh, tubuh itu akan memberikan reaksi terhadap apa yang kita masukkan," ungkap dia.
"Kemudian apakah ada rekomendasi atau dukungan dari instansi yang berwenang, katakanlah Kemenkes, atau Kemenristek, BPOM, atau universitas yang jelas. Itu harus dicek," pungkasnya. []