Para aktivis HAM mengkritik aturan yang sedang dibahas oleh parlemen ini karena dianggap bisa membatasi kebebasan perempuan dalam mengekspresikan diri.
Rancangan undang-undang (RUU) itu dalam proses pembahasan Majelis Nasional dan beberapa kementerian. Alasannya untuk melestarikan tradisi nasional.
"Meremehkan hak-hak perempuan terkait otonomi tubuh dan ekspresi diri dan menyalahkan perempuan atas kekerasan yang dilakukan terhadap mereka," kata Direktur Eksekutif Pusat Hak Asasi Manusia Kamboja, Chak Sopheap.
Sementara itu pejabat Kementerian Dalam Negeri yang memimpin penyusunan draf RUU, Ouk Kimlekh, mengatakan, undang-undang tersebut diperlukan untuk melestarikan budaya tradisional.
"Ini bukan sepenuhnya masalah ketertiban umum, tapi tradisi dan adat," katanya.
Tahun ini seorang perempuan dijatuhi hukuman penjara 6 bulan atas tuduhan pornografi serta tindakan tidak senonoh. Dia dianggap mengabaikan peringatan agar tidak mengenakan pakaian terlalu terbuka saat memasarkan produk kosmetik dalam iklan live streaming Facebook.
Penangkapannya berlangsung beberapa hari setelah Perdana Menteri Hun Sen meminta pihak berwenang melacak perempuan yang melakukan promosi produk yang provokatif, menodai budaya Kamboja serta mendorong pelecehan seksual.
Aktivis HAM mengecam penangkapan serta memperingatkan UU tersebut cenderung menempatkan perempuan sebagai pemicu pelecehan dan kekerasan seksual.
"Menegur perempuan karena pilihan pakaian mereka, untuk mempertegas bahwa perempuan harus disalahkan atas kekerasan seksual yang mereka alami. Dengan demikian semakin mengakar budaya impunitas terkait dengan kekerasan berbasis gender," kata Wakil Direktur Amnesty International Asia Pasifik, Ming Yu Hah. (*)