Penulis: Tony Rosyid
Sejumlah pihak ingin Jokowi lengser. Ini hal biasa di alam demokrasi. Sah-sah saja. Asal, jangan makar. Sekedar ingin, berucap dan menuntut, tak dilarang oleh konstitusi. Di negara hukum, semua harus berbasis konstitusi.
Kenapa minta Jokowi mundur? Tentu, mereka punya alasan. Baik hukum, ekonomi maupun politik. Hukum dianggap terlalu tajam ke lawan dan memihak konglomerasi. Pertumbuhan ekonomi minus. 5,32 persen, bahkan lebih parah. Kegaduhan politik tak ada tanda-tanda berhenti. Macam-macam. Intinya, mereka gak puas dipimpin Jokowi. Negara jadi amburadul, kata mereka.
Tak hanya Jokowi, ada juga pihak yang ingin Ma’ruf Amin mundur. Pertama, ada celah konstitusional yaitu mundur dengan alasan uzur. Kedua, dicari-cari salahnya agar bisa didesak untuk mundur. Tentu dengan berbagai kompensasi. Ketiga, posisi wapres saat ini sangat strategis untuk maju di pilpres 2024.
Semua kemungkinan selalu terbuka. Pada akhirnya, apakah Jokowi yang akan lengser? Atau Ma’ruf Amin yang terpaksa mundur? Atau kedua-keduanya lengser? Atau sebaliknya, keduanya tetap bertahan dan bersinergi sebagai presiden dan wapres hingga 2024.
Hitung-hitungan politiknya, siapa yang paling potensial untuk bertahan? Jokowi, atau Ma’ruf Amin? Namanya juga kalkulasi. Bisa tepat, bisa meleset. Sebab, politik selalu dinamis.
Covid-19 yang efeknya sangat terasa di bidang ekonomi telah membuat pemerintahan Jokowi tampak semakin melemah dan kehilangan legitimasi. Rakyat fokus pada Jokowi sebagai obyek, karena Jokowi kepala pemerintahan. Semua kebijakan ada di tangannya. Terutama terkait penanganan covid-19, Ma’ruf nyaris sama sekali tak dilibatkan. Suaranya tak terdengar di media. Kecuali hanya sekali darling dengan Anies Baswedan dan Ridwan Kamil selama masa pandemi.
Penanganan covid-19 sangat mengecewakan, kata pihak oposisi. Baik dari sisi kesehatan maupun ekonomi. Segala hal terkait dengan kekecewaan rakyat atas gagalnya penanganan covid-19 otomatis dibebankan kepada Jokowi.
Belum lagi munculnya Perppu Corona yang jadi UU No 2/2020 dituding publik sebagai ajang bancakan uang negara oleh korporasi dengan memanfaatkan situasi pandemi. Tanpa bisa dituntut hukum, baik pidana, perdata maupun TUN.
Apa indikator gagalnya? Juni lalu, Indonesia masuk rangking ke 97 dari 100 negara dalam menghadapi covid-19. Rangking ke-3 dari bawah. Artinya? Parah! Di bulan Juli Indonesia urutan ke 143 dari 215 negara.
Dinilai oleh banyak tokoh bangsa, bahwa di bawah kepemimpinan Jokowi negara penuh dengan masalah. Faktor inilah yang kemudian mendorong para tokoh bangsa tersebut berkumpul dalam Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Berkumpul disitu Abdullah Hehamahua, Din Syamsudin, Gatot Nurmantyo, Gus Aam, Habib Rizieq, Refly Harun, Rizal Ramli, Rocky Gerung, Said Didu, dan ratusan tokoh lintas agama, etnis dan profesi lainnya. Mereka semua sepakat: Jokowi harus diingatkan! Kalau gak mau?
Semula hanya 9 tokoh oposisi. Lalu berkembang dan melibatkan puluhan hingga ratusan tokoh nasional dari semua elemen bangsa. Selasa tanggal 18 Agustus nanti mereka akan membacakan maklumatnya di tugu proklamasi.
Dalam waktu yang sama, para tokoh lokal akan berkumpul di berbagai daerah untuk memberi dukungan kepada KAMI dan maklumat yang akan dibacakan. Gerakan moral KAMI cepat menyebar dan telah masif menjadi gerakan nasional.
Munculnya KAMI sangat menguntungkan bagi Ma’ruf Amin. Ini peluang. Lepas Ma’ruf punya keinginan atau tidak untuk memanfaatkan peluang itu. Yang pasti, peluang sangat besar bagi Ma’ruf Amin untuk merefresh kekuatan dan posisioning dirinya.
Terlebih ketika NU saat ini dalam kondisi kecewa terhadap Jokowi. Terutama ketika Menteri Agama lepas dari NU. Bukan soal jatah menjatah. Tapi, orang NU merasa lebih paham dalam mengelola Kementerian Agama.
Ma’ruf Amin dari NU, dan majunya Ma’ruf Amin salah satu rekomendasinya dari PBNU.
Selain KAMI dan NU, Ma’ruf juga bisa bersinergi dengan Prabowo yang kabarnya masih berambisi untuk nyapres lagi di 2024.
Bagaimana dengan PDIP? Dalam politik, semua berbasis kalkulasi pragmatis. Selama ini, PDIP seringkali dikecewakan oleh Jokowi. Jokowi lebih nyaman dengan Luhut Binsar Panjaitan (LBP) dari pada dengan ketua umumnya sendiri, yaitu Megawati.
Kondisi obyektif PDIP yang selalu kecewa terhadap Jokowi memungkinkan untuk membangun sinergi politik dengan Ma’ruf Amin. Apalagi, terpilihnya Ma’ruf Amin sebagai Cawapres Jokowi kabarnya atas endorse langsung dari Megawati ke Jokowi. Klop!
Jadi, jika dikalkulasi secara politik, posisi Ma’ruf Amin saat ini bisa lebih diuntungkan dari pada Jokowi. Tapi, semua dikembalikan kepada kemampuan Ma’ruf Amin memanfaatkan puzzle-puzzle kekuatan yang tersedia itu untuk memperkuat posisioning dirinya. (*)