Sang panglima perang bernama Mayor Jenderal Mohsen Rezaee Mirgha'ed itu mencurigai ada keterlibatan Amerika Serikat dan Israel dalam ledakan dahsyat yang menewaskan lebih dari seratusan orang itu.
Dalam pernyataan resminya yang dikutip pada, Jumat 7 Agustus 2020, panglima tertinggi Korps Pengawal Revolusi Islam (IRGC) periode 1980 hingga 1997 itu menyebut tragedi ledakan itu bukan peristiwa biasa tapi pemboman yang penuh dengan skandal khusus.
Berdasarkan pandangannya, jika dilihat dari rekaman peristiwa ledakan yang terjadi 4 Agustus 2020 itu, sangat jelas ledakan memiliki kemiripan yang akurat dengan cara-cara pemboman yang kerap dilakukan Amerika Serikat dan Israel.
"Pemboman yang belum pernah terjadi sebelumnya di Beirut sangat mencurigakan dan sejalan dengan perilaku Amerika Serikat dan Israel dalam beberapa tahun terakhir," kata Mayjen Reza dalam keterangannya tertulisnya.
Menurutnya, ada dua perspektif hingga dia menilai tragedi ledakan itu sebagai pemboman alias serangan bom. Dan Amerika Serikat serta Israel patut dicurigai mendalangi serangan itu.
"Dari satu sudut pandang, perang ekonomi menggantikan peperangan militer, dan di sisi lain, strategi mengancam mata pencaharian daripada menggunakan bom atom," kata dia.
"Dengan ini kebijakan Israel dan Amerika bisa disebut mata pencaharian Hiroshima atau gandum. Karena menurut dua poin berikut dalam insiden Beirut dan insiden serupa, masalah terpenting yang telah diancam dan dirusak sebagai prasyarat untuk meningkatkan tekanan pada rakyat adalah mata pencaharian dan kekuatan masyarakat," kata dia.
Dua poin berikutnya menurut Mayjen Reza ialah, yang pertama kebijakan Donald Trump sangat berbeda jauh dengan dua Presiden Amerika sebelumnya, George Bush dan Ronald Reagen.
"Trump memprioritaskan perang ekonomi dari pada kekuatan militer. Misalnya, Trump telah menggunakan alat tarif terhadap China dan Eropa dan sanksi terhadap Iran dan Rusia. Dengan kata lain, Trump telah menyimpulkan bahwa bom atom dan perangkat militer lainnya telah kehilangan propertinya dan menjadikan perang ekonomi sebagai prioritas pertama mereka," ujarnya.
Yang kedua ialah, hasil pemboman Beirut sangat mirip dengan hasil tindakan Amerika lainnya di Lebanon, termasuk upaya untuk secara drastis mendepresiasi mata uang Lira Lebanon dalam beberapa bulan terakhir.
"Menarik untuk dicatat bahwa selama bertahun-tahun, setiap dollar diperdagangkan untuk 1.500 Lira Lebanon, tetapi sejak lima bulan yang lalu, setiap dollar telah ditukar dengan 9.000 Lira Lebanon, yang secara drastis mengurangi daya beli rakyat Lebanon dan mata pencaharian rakyat Lebanon. Ada tekanan kuat.
Ledakan Beirut juga sangat merusak mata pencaharian masyarakat, yakni gandum dan stok pangan," kata Reza.
Kecurigaan Mayjen Reza kepada Amerika Serikat dan Israel boleh-boleh saja didendangkannya. Namun yang pasti, sampai saat ini pemerintah Lebanon belum sama sekali menyatakan ledakan adalah sebuah serangan.
Pemerintah Lebanon menyimpulkan bahwa ledakan terjadi akibat penumpukan 2.750 ton Amonium Nitrat di salah satu gudang di pelabuhan.
Disebutkan zat kimia itu sebenarnya barang sitaan yang dilakukan pada tahun 2013. Awalnya Amonium Nitrat itu berada di atas kapal MV Rhosus berbendera Moldova yang sedang berlayar dari Batumi, Georgia menuju Beira, Mozambik.
Namun kapal itu singgah di Beirut karena mengalami masalah pada mesin. Ketika dilakukan pemeriksaan oleh petugas pelabuhan, ternyata kapal dinyatakan tak layak berlayar dan dilarang melanjutkan perjalanan.
Semua kru dipulangkan ke negara masing-masing sedangkan zat kimia yang ada di kapal disita dan disimpan di gudang. Sayangnya pemilik barang dikabarkan bangkrut dan ribuan ton Amonium Nitrat dibiarkan begitu saja di dalam gudang. Dan akhirnya pada Selasa petang meledak dahsyat.
Yang menarik adalah, justru Amerika Serikat lah yang pertama kali menduga ledakan itu bukan ledakan biasa tapi serangan bom. Pernyataan itu malah langsung diucapkan Donald Trump di Gedung Putih beberapa jam setelah tragedi terjadi.
"Sepertinya itu didasarkan pada ledakan. Saya bertemu dengan beberapa jenderal besar kita dan mereka sepertinya merasa itu. Ini bukan semacam ledakan manufaktur jenis sebuah peristiwa. Mereka tampaknya mengira itu adalah serangan. Itu semacam bom, ya," kata Trump pada Rabu 5 Agustus 2020.
Nah yang menarik lagi, jauh sebelum tragedi ini terjadi, ternyata Israel sudah mengetahui tentang adanya barang berbahaya di lokasi tragedi ledakan dahsyat di Pelabuhan Beirut, Lebanon.
Bahkan, negeri Yahudi itu melalui Perdana Menteri Benjamin Netanyahu telah mengungkap lokasi berbahaya itu ke Perserikatan Bangsa-Bangsa. Netanyahu mengungkap keberadaan zat berbahaya kepada PBB saat berpidato di Konferensi Bisnis Globes yang digelar di Yerusalem pada 2019.
Menurut Netanyahu, zat kimia berbahaya itu merupakan milik Hizbullah, direncanakan akan dijadikan bahan baku pembuatan ribuan rudal.
"Mereka berencana sudah memiliki ribuan rudal presisi. Paling-paling mereka hanya memiliki puluhan," kata Netanyahu kala itu.
Yang lebih mengejutkan, dari 3 titik lokasi penyimpanan zat berbahaya itu, salah satunya ialah tepat di gudang Amonium Nitrat yang menjadi pusat ledakan tragedi Beirut kemarin.
Netanyahu mengklaim data itu didapatkannya dari Badan Intelijen Israel, Mossad. Malah dalam pertemuan antar negara itu Netanyahu memperlihatkan foto ketiga titik tempat zat kimia milik Hizbullah di Pelabuhan Beirut.
Netanyahu mengatakan bahwa Hizbullah sengaja menjadikan Pelabuhan Beirut sebagai pusat penimbunan zat berbahaya agar aman dari jangkauan intervensi militer Israel. Hizbullah memanfaatkan kondisi di pelabuhan sebagai benteng pertahanan perisai manusia. (*)