Penulis: Anthony Budiawan (Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS))
Kuartal I (Q1) tahun 2019, saya mempunyai pendapatan Rp 10 juta. Kemudian naik Rp 1 juta setiap kuartal hingga akhir tahun 2019. Menjadi Rp 11 juta pada kuartal II (Q2), Rp 12 juta pada kuartal III (Q3) dan Rp 13 juta pada kuartal IV (Q4).
Kemudian, pendapatan saya mendadak turun (dari Rp 13 juta) menjadi Rp 10,8 juta pada Q1/2020. Saya sungguh sedih. Yang lebih menyedihkan, pendapatan saya kemudian turun lagi menjadi Rp 9,4 juta pada Q2/2020. Kali ini saya sangat panik. Saya merasa was-was dan merasakan aroma resesi. Bayangkan, pendapatan terakhir yang saya nikmati masih Rp 13 juta. Tiba-tiba turun menjadi Rp 10,8 juta, dan turun lagi menjadi hanya Rp 9,4 juta.
Dengan kata lain, pendapatan saya turun dari kuartal satu ke kuartal berikutnya (Quarter-on-Quarter, QoQ) selama dua kuartal berturut-turut. Saya sangat tertekan, karena merasakan resesi pendapatan menghampiri saya.
Saya mengeluh, alias curhat atau curahan hati, kepada tetangga yang dituakan. Tapi jawabannya membuat kening berkerut.
Tetangga mengatakan “tenang saja, Anda belum resesi”. Karena pendapatan Anda pada Q1/2020 masih Rp 10,8 juta, masih lebih tinggi dari pendapatan Anda pada Q1/2019 yang sebesar Rp 10 juta. Dengan kata lain, dia mebandingkan pendapatan saya secara tahunan, atau Year-on-Year (YoY). Bahkan Anda seharusnya gembira, di tengah kondisi yang sulit pendapatan Anda masih tumbuh.
Kening saya berkerut semakin dalam mendengar uraiannya. Dalam hati saya membatin, saya yang bodoh atau dia yang agak terganggu pikirannya.
Dia kemudian melanjutkan, memang benar pendapatan Anda pada Q2/2020 turun menjadi Rp 9,4 juta, turun dibandingkan pendapatan pada Q2/2019 yang sebesar Rp 11 juta. Tapi kan minusnya baru sekali. Nanti kita lihat saja Q3/2020 apakah pendapatan Anda akan lebih besar dari Rp 12 juta (pendapatan pada Q3/2019) atau tidak. Kalau lebih besar, berarti Anda tidak pernah mengalami resesi pendapatan. Karena pendapatan Anda hanya minus sekali.
Padahal, selama enam bulan ini hidup saya sudah susah. Tetapi, saya hanya dapat menggerutu dalam hati: “Ini namanya sudah resesi, stu..d”.
Cerita di atas menganalogikan kondisi ekonomi kita saat ini. Rakyat sudah merasakan resesi ekonomi dalam kehidupan mereka. Pendapatan sudah turun tajam selama dua kuartal berturut-turut. Tetapi pemerintah mengatakan belum resesi. Meskipun PDB pada Q2/2020 ini bahkan sudah lebih rendah dari PDB Q1/2019.
PDB (riil) Indonesia pada Q1/2019 hingga Q2/2020 sebagai berikut (sebelum disesuaikan faktor musiman): Rp 2.625 triliun (Q1/2019), Rp 2.735 triliun (Q2/2019), Rp 2.819 triliun (Q3/2019), Rp 2.770 triliun (Q4/2019). Kemudian turun menjadi Rp 2.703 triliun (Q1/2020), dan turun lagi menjadi Rp 2.590 triliun (Q2/2020). Artinya, nilai PDB pada Q2/2020 hanya Rp 2.590 triliun, sudah lebih rendah dari PDB Q1/2019 yang sebesar Rp 2.625 triliun!
Penurunan ekonomi yang cukup tajam selama enam bulan (2 kuartal) berturut-turut ini sangat terasa berat bagi mayoritas rakyat Indonesia. Rakyat tahunya ekonomi mereka sedang terhimpit, pendapatan mereka semakin tipis, alias resesi. Rakyat mengharapkan pemerintah dapat membantu mereka secepatnya dari kesulitan keuangan ini. Jangan sampai rakyat tidak bisa makan.
Tapi apa daya, pemerintah mengatakan: belum resesi kok. Sabar saja, nanti tunggu kuartal III 2020. Capek deh. (*)