Oleh:M. Rizal Fadillah
BANYAK yang geleng-geleng kepala melihat perkembangan Gerindra. Awalnya banyak yang melihat prospek ke depan yang cerah bagi partai ini karena pandangan politik yang kritis dan korektif. Tapi lama-lama pengagum atau pengharap mulai kehilangan respek.
Terasa sia-sia dahulu mendukung Ketum Gerindra untuk menjadi Presiden. Ketum dan partai semakin loyo saja. Rakyat yang bersemangat perubahan ke arah yang lebih baik ternyata tak bisa menggantungkan harapan.
Di RUU HIP Gerindra senyap suara. Tak ada pembelaan pada rakyat yang gelisah oleh permainan acak ideologi oleh partai pengusung RUU. Umat berteriak keras akan bahaya. Gerindra nyaman-nyaman saja.
Menyakitkannya sang Ketum ikut mengantar lembaran busuk pengganti, RUU BPIP. Konyol memang karena seperti tidak membaca konstelasi keumatan. Kongres Umat Islam telah mendorong agar BPIP dibubarkan.
Pada Pilkada lagi-lagi Gerindra berperilaku aneh. Kasarnya menjilat. Anak Presiden didukung, menantu Presiden didukung, besan Presiden didukung, anak Wapres didukung, anak Sekretaris Kabinet didukung.
Sebagai hak politik hal demikian adalah sah-sah saja. Tetapi ini merupakan dukungan menuju pengabsahan nepotisme. Kultur yang diwanti-wanti oleh Tap MPR No. XI/MPR/ 1998 dan Tap MPR No. VIII/MPR/2001 sebagai perbuatan yang harus dihindari bahkan diberantas.
Pendukung benih nepotisme tentu bukan hanya Gerindra, tetapi Gerindra patut disorot mengingat Ketumnya adalah Calon Presiden yang mendapat dukungan jutaan suara yang berharap memiliki pemimpin yang berintegritas dan mandiri.
Tapi sayang pragmatisme, kalkulasi politik, mungkin juga apologi demi strategi, maka para pemeran sandiwara politik lebih suka mempermainkan perasaan hati rakyat. Sekedar untuk mendapatkan sejumput keuntungan bagi kelompok atau partai. Lagi pula pemilu waktunya masih lama, bukankah parpol itu membutuhkan dukungan rakyat hanya di saat Pemilu ?
Nepotisme harus diberantas jika negara ingin kuat dan bersih. Nepotisme ada dalam satu napas dengan kolusi dan korupsi. Penyelenggara negara mesti memiliki komitmen untuk melakukan pemberantasan KKN. Jika komitmen sudah hilang, maka baiknya Ketetapan MPR atau peraturan perundang-undangan yang ada dibuang saja ke tempat sampah.
Rakyat sudah semakin muak pada karakter pemerintahan yang didukung partai-partai politik yang sudah tidak menperdulikan aturan aturan hukum. Ber-KKN dengan bebas dan leluasa. Tak peduli pada pandangan luar selain diri, kelompok, dan partainya. Mengelola negara seperti miliknya sendiri. Kekuasaan adalah aku- l'etat c'est moi.
Sebaiknya Gerindra introspeksi dan evaluasi atas langkah yang menenggelamkan diri itu. Hukum politik selalu ada "reward" dan "punishment". Jangan abaikan dan persetankan suara rakyat. Kekuasaan dan jabatan itu tidak abadi.
Tentu semua sudah sangat tahu akan hal ini.
(Pemerhati politik dan kebangsaan.)