Genosida Etnis di Myanmar Terus Berlangsung, Perwakilan Muslim Rohingya Dilarang Ikut Pemilu

Genosida Etnis di Myanmar Terus Berlangsung, Perwakilan Muslim Rohingya Dilarang Ikut Pemilu

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Seorang Muslim Rohingya dilaporkan dilarang mencalonkan diri dalam pemilihan umum Myanmar yang akan datang. Sebuah keputusan yang dikecam oleh kelompok-kelompok hak asasi sebagai diskriminatif dan merupakan gejala dari genosida yang sedang berlangsung, terhadap minoritas yang dianiaya.

Diketahui, operasi militer pada 2017 lalu mendorong 750.000 Muslim Rohingya keluar dari negara itu ke kamp-kamp pengungsi yang luas di negara tetangga Bangladesh, yang memicu munculnya tuduhan genosida di pengadilan tinggi PBB. Namun Myanmar membantah tuduhan tersebut, dan membenarkan operasi militer tersebut sebagai cara untuk membasmi teroris.

600.000 Muslim Rohingya lainnya masih tinggal di Myanmar. Namun sebagian besar tidak dianggap sebagai warga negara dan tidak akan memiliki hak suara, hidup dalam kondisi yang digambarkan oleh Amnesty International (AI) sebagai kondisi apartheid.

Menurut pengawas regional Fortify Rights, tiga partai yang dipimpin Rohingya berharap untuk mengajukan setidaknya selusin kandidat dalam pemilihan umum November nanti.  Tetapi Abdul Rasheed, 58, anggota Partai Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, mengatakan kepada Fortify Rights, yang memantau situasi minoritas Rohingya, bahwa dia tidak diberi hak untuk mencalonkan diri dalam pemilu nasional Myanmar yang akan datang.

Komisi pemilihan beralasan bahwa orang tua Rasheed bukan warga negara Myanmar ketika dia lahir. Padahal Rasheed memiliki bukti bahwa orang tua dan kakek neneknya diberikan kewarganegaraan pada 1957, empat tahun sebelum kelahirannya.

“Mereka tidak menginginkan Rohingya di parlemen dan itulah satu-satunya alasan hal ini terjadi,” kata Abdul Rasheed kepada Fortify Rights. “Mengapa ada batasan untuk Rohingya? Mengapa ada serangkaian pertanyaan terpisah untuk Rohingya? Ini yang saya pertanyakan.”

Dilansir Al Jazeera, bahwa minoritas Muslim Rohingya mengalami pengikisan kewarganegaraan dan hak-hak lainnya selama beberapa dekade di Myanmar. Rasheed, yang mengatakan bahwa ayahnya bekerja sebagai pegawai negeri pemerintah Myanmar selama lebih dari 30 tahun, juga pernah berusaha untuk mencalonkan diri dalam pemilu tahun 2015 lalu di negara itu, namun hasilnya yang sia-sia.

“Penolakan ini diskriminatif dan terkait dengan genosida Rohingya yang sedang berlangsung,” kata Matthew Smith dari Fortify Rights. “Pemerintah Myanmar harus mengakhiri pencabutan hak massal atas Rohingya.” (*)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita