GELORA.CO - Pandemik virus corona atau Covid-19 yang terjadi di Indonesia saat ini masih jauh dari kata usai. Jangankan untuk menghadapi gelombang kedua, sebagaimana yang dihadapi banyak negara di dunia, gelombang pertama di tanah air pun belum terlihat ujungnya.
Media Reuters dalam artikel terbaru berjudul "Endless first wave: how Indonesia failed to control coronavirus", menyoroti soal bagaimana Indonesia menanggapi pandemik Covid-19.
Artikel tersebut menyoroti tanggapan tidak biasa dari kabinet presiden selama enam bulan terakhir atau sejak pandemik Covid-19 terjadi di Indonesia. Mulai dari saran untuk memanjatkan doa, guyonan soal nasi kucing hingga kalung anti corona.
Saran dan "solusi" semacam itu dianggap mencerminkan pendekatan yang tidak ilmiah untuk memerangi pandemik Covid-19 di Indonesia, yang merupakan negara terpadat keempat di dunia.
Kondisi tersebut diperparah dengan tingkat pengujian Covid-19 yang termasuk terendah di dunia serta pelacakan kontak yang tidak maksimal. Terlebih, sejak awal pandemik, pemerintah menolak untuk menerapkan penguncian nasional alias lockdown.
Sejauh ini, Indonesia secara resmi telah melaporkan 6.346 kematian akibat Covid-19. Jumlah ini merupakan yang tertinggi di kawasan Asia Tenggara.
Namun diperkirakan bahwa jumlah korban meninggal jauh lebih tinggi dari angka resmi tersebut. Karena jumlah orang yang meninggal dunia dengan gejala Covid-19 akut yang tidak dites tidak termasuk dalam hitungan.
Di tengah kondisi tersebut, Indonesia dianggap tidak menunjukkan tanda-tanda untuk membendung penularan Covid-19. Penularan Covid-19 di Indonesia juga semakin mengkhawatirkan dengan 17 persen dari mereka yang dites dinyatakan positif Covid-19. Jumlah ini meningkat hampir 25 persen di luar Jakarta. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), angka di atas 5 persen berarti penyebaran Covid-19 sudah tidak terkendali, dan Indonesia jauh di atas angka itu.
"Virus ini sudah menyebar ke seluruh Indonesia. Yang kami lakukan pada dasarnya adalah herd immunity," kata Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Pengembangan Veteran Nasional di Jakarta, kata Prijo Sidipratomo kepada Reuters.
"Jadi, kita harus menggali banyak, banyak kuburan," jelasnya.
Untuk diketahui, herd immunity merupakan skenario di mana sebagian besar populasi tertular virus dan kemudian kekebalan yang meluas menghentikan penyebaran penyakit tersebut.
Tidak berhenti sampai di situ, hal lain yang juga menarik disoroti adalah soal jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia per kapita yang cenderung lebih rendah dari sejumlah negara lain.
Merujuk pada World O Meter, Setidaknya ada 144.945 kasus Covid-19 yang dikonfirmasi di Indonesia, dari sekitar 270 juta populasi. Jumlah itu lebih rendah dibandingkan dengan angka yang dilaporkan di Amerika Serikat, Brasil, dan India dan bahkan Filipina yang memiliki kurang dari setengah populasi Indonesia.
Namun angka itu tidak bisa diakui valid sepenuhnya. Reuters menyoroti soal skala sebenarnya dari jumlah infeksi di Indonesia yang mungkin masih tersembunyi.
Mengapa demikian? Karena jumlah pengujian Covid-19 di Indonesia cenderung lebih rendah bila dibandingkan sejumlah negara tersebut. Sebagai contoh, India dan Filipina melakukan pengujian Covid-19 empat kali lebih banyak per kapita jika dibandingkan dengan Indonesia. Sedangkan Amerika Serikat melakukan pengujian 30 kali lebih banyak daripada Indonesia.
Statistik dari Our World in Data, yakni sebuah proyek penelitian nirlaba yang berbasis di Universitas Oxford, menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-83 dari 86 negara yang disurvei untuk keseluruhan tes per kapita.
"Kekhawatiran kami belum mencapai puncak, puncaknya bisa datang sekitar Oktober dan mungkin belum selesai tahun ini," kata ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia, Iwan Ariawan kepada Reuters.
Respon pemerintah dalam menangani pandemik Covid-19 di Indonesia sebenarnya perlu ditelurusi sejak awal pandemik.
Meskipun kasus melonjak di negara-negara tetangga dan memiliki 3.000 alat uji reaksi berantai polimerase (PCR), yakni tes yang disetujui WHO untuk mendeteksi virus corona, siap pada awal Februari, pemerintah Indonesia mengatakan kurang dari 160 tes dilakukan pada 2 Maret lalu.
Kemudian pada 13 Maret, Preside Joko Widodo (Jokowi) mengatakan bahwa pemerintah menahan informasi agar tidak "menimbulkan kepanikan".
Selama dua minggu pertama bulan Maret, pemerintah menyembunyikan setidaknya setengah dari infeksi harian yang disadari. Hal itu diungkapkan oleh dua sumber anonim kepada Reuters. Mereka memiliki akses ke data tersebut. Kedua orang tersebut kemudian mengatakan bahwa mereka kemudian dilarang melihat data mentah.
Sementara itu, seruan Jokowi untuk memperluas pengujian diagnostik cepat atau rapid test besar-besaran juga perlu menjadi tanda tanya.
Pasalnya, studi ilmiah telah menunjukkan bahwa rapid test, yang menguji sampel darah untuk antibodi, ternyata jauh kurang akurat daripada metode PCR atau dikenal juga dengan nama tes swab. Tes ini dilakukan dengan cara menguji penyeka dari hidung atau tenggorokan untuk mengetahui materi genetik.
Reuters mengutip tiga manajer lab anonim yang menyebut bahwa dorongan Jokowi untuk menggunakan pengujian yang kurang andal, mengalihkan sumber daya dari pengujian PCR.
Sementara itu, komisaris di kantor Ombudsman Indonesia, Alvin Lie, mengatakan kepada Reuters bahwa importir rapid test, termasuk perusahaan besar milik negara dan perusahaan swasta, memperoleh "keuntungan besar" dengan mengenakan biaya kepada konsumen hingga Rp 1 juta, meskipun sebenarnya setiap pengujian hanya berharga sekitar Rp 50 ribu.
Kekauratan rapid test juga menjadi tanda tanya besar, mengingat pada pertengahan April lalu, pemerintah sejumlah provinsi mengatakan pengujian cepat di provinsi di Jawa Barat, Bali, dan Yogyakarta menghasilkan ratusan negatif palsu dan positif palsu.
Meski begitu, rapid test masih terus didorong secara luas hingga kemudian pada Juli lalu, pemerintah menghentikan impor rapid test dan memberlakukan batasan harga sebesar Rp 150 ribu untuk rapid test.
Juga pada bulan Juli, Indonesia secara resmi menyarankan pemerintah provinsi untuk tidak menggunakan rapid test untuk tujuan diagnostik dalam pedoman terbaru untuk pencegahan dan pengendalian Covid-19.
Namun Lie mengatakan bahwa ada persediaan yang sangat besar dan di lapangan, rapid test masih dilakukan secara luas, termasuk untuk menyaring pekerja kantor dan pelancong.
Pemerintah pusat sendiri tidak mengungkapkan tingkat rapid test nasional. Namun data dari Jawa Barat menunjukkan bahwa pemerintah provinsi telah melakukan tes cepat 50 persen lebih banyak daripada tes PCR.
Pejabat pemerintah telah mengumukan bahwa Indonesia memiliki 269 laboratorium dengan mesin PCR yang beroperasi. Namun, Reuters menyoroti soal laboratorium yang semakin tidak dapat memenuhi permintaan karena infeksi meningkat. Menurut data pemerintah, jumlah kasus yang dicurigai, seperti mereka yang memiliki gejala Covid-19 yang belum diuji, meningkat dua kali lipat menjadi 79 ribu dalam sebulan terakhir.
Mengutip empat petugas kesehatan yang berbicara secara anonim kepada Reuters, sebagian dari masalah tersebut disebabkan oleh kapasitas lab masih jauh dari dimanfaatkan sepenuhnya.
Sementara itu, lima manajer laboratorium dan konsultan yang dihubungi oleh Reuters mengatakan bahwa kegagalan untuk menggunakan kapasitas pengujian negara tersebut disebabkan oleh kesalahan manajemen pemerintah yang menyebabkan kekurangan staf dan reagen, atau bahan kimia yang diperlukan untuk pengujian.
Kondisi tersebut semakin "ideal" parahnya dengan pelacakan kontak yang tidak maksimal. Padahal, menurut pedoman nasional yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan RI pada 13 Juli lalu, pelacakan kontak adalah salah satu kunci utama dalam memutus rantai penularan Covid-19.
Sayangnya, hal itu minim dilakukan. Reuters berbicara dengan 12 petugas kesehatan di seluruh Indonesia yang menggambarkan upaya pelacakan kontak negara itu ceroboh dan tidak efektif.
Salah satu petugas kesehatan di Banjarmasin di Kalimantan, Rahmat Januar Nor, mengatakan kepada Reuters bahwa informasi tentang kasus baru Covid-19 sering masuk ke kantornya dengan nama yang tidak lengkap, nomor telepon yang tidak aktif atau alamat yang sudah kadaluwarsa untuk pasien dan kontaknya.
Bukan hanya itu, masalah lain yang juga dihadapinya adalah kerap ada masyarakat yang masuk pelacakan menolak untuk dites Covid-19 karena takut akan kehilangan pekerjaan atau dikucilkan di komunitas. (Rmol)