Adapun wacana tersebut kian berkembang pasca keduanya hadir dalam deklarasi yang sempat terlaksana pada 18 Agustus 2020 lalu. Namun, apa yang setidaknya ramai dibicarakan di media sosial itu tidak gampang dalam realitanya.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), Ujang Komarudin, menganggap bahwa keinginan netizen untuk menduetkan tokoh sah-sah saja, dan itu bagus-bagus saja.
"Karena netizen bisa saja ingin ada alternatif calon lain di Pilpres 2024 nanti. Tidak didominasi oleh nama-nama itu-itu saja," ujar Ujang di Jakarta, Senin (24/8/2020).
Namun menurut Ujang, persoalannya 'perjodohan' Gatot-Titiek di Pilpres 2024 nanti merupakan sesuatu yang sulit, dan susah untuk direalisasikan.
Pertama, karena mereka tak berangkat dan tak punya partai 'besar', yang bisa mengusung keduanya. Sebagaimana diketahui, syarat nyapres itu harus memenuhi 20% kursi DPR RI.
Kedua, lanjut dia, popularitas dan elektabilitas keduanya sebagai bakal calon presiden dan calon wakil presiden juga belum terlihat. Popularitas dan elektabilitas keduanya kalah bersaing dengan beberapa figur kepala daerah yang dalam sejumlah survei selalu unggul.
"Kalau partai KAMI. Sulit juga karena belum jadi partai. Dan kalau jadi partai pun, tak punya 20% persyaratan itu. Jadi peluang keduanya berat dan sulit," pungkas Analis Politik asal Universitas Al Azhar Indonesia ini.
Berpeluang
Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo dinilai pengamat memiliki peluang untuk maju sebagai calon presiden (Capres) di Pilpres 2024 dengan dukungan KAMI. Pengamat Politik Adi Prayitno, menilai, peluang Gatot cukup terbuka karena setiap warga negara Indonesia pada dasarnya memiliki hak yang sama untuk maju di Pilpres 2024.
Asalkan, kata Adi, Gatot bisa memenuhi persyaratan sebagaimana ketentuan perundang-undangan yang berlaku. "Saya kira mungkin saja begitu (Gatot mencoba peruntungan maju sebagai calon presiden di Pemilihan Presiden 2024)," ujar Adi di Jakarta, Senin (24/8/2020).
Ia pun menilai, peluang Gatot maju di capres 2024 lantaran nama Gatot kerap disebut-sebut sebagai salah satu kandidat kuat jelang Pilpres 2019 lalu.
Namun sayangnya, kata Adi, parpol-parpol yang ada ketika itu, mengerucut hanya mendukung dua pasangan calon, yakni pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahudin Uno.
Kendati peluang Gatot terbuka di Pilpres 2024, namun Adi menilai peluang itu sangat kecil. Pasalnya, kata dia, Gatot Nurmantyo bukan merupakan tokoh partai politik.
"Sementara menurut aturan yang berlaku, untuk dapat maju sebagai calon presiden maupun calon wakil presiden harus diusung oleh partai politik," ujar Dosen di Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah Jakarta ini.
Gerakan Politis
Pengamat Politik, Muhammad Qodari, menilai adanya peluang KAMI memiliki gerakan yang bertujuan politik. "Bukan mustahil ada gerakan-gerakan atau tujuan-tujuan yang sifatnya politik," kata Qodari di Jakarta, Senin (24/8/2020).
Qodari mengatakan, sulit menganggap deklarasi KAMI sebagai gerakan moral. Sebab, para deklarator KAMI diisi dari berbagai latar belakang, mulai dari politikus hingga mantan pejabat.
"Lain kalau misalnya KAMI ini isinya cuma dosen atau ulama saja yang tidak berpolitik maka bisa dikatakan gerakan moral," ujarnya.
Direktur Eksekutif Indo Barometer ini berpendapat karena cukup banyak politikus dan mantan pejabat yang berada di dalam KAMI, maka akan ada pikiran dan kalkulasi politik dalam gerakan tersebut.
Diketahui sebelumnya, sejumlah tokoh mendeklarasikan KAMI di lapangan Tugu Proklamasi, Jakarta, pada Selasa (18/8/2020). Koalisi tersebut diisi sejumlah tokoh nasional, seperti eks politikus PPP, Ahmad Yani, mantan panglima TNI Jenderal (purnawirawan) Gatot Nurmantyo, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Ketua Umum Komite Khitthah Nahdlatul Ulama 1926 (KKNU-26) Rochmat Wahab.
Kemudian, akademikus Rocky Gerung, pakar hukum tata negara Refly Harun, mantan Sekretaris Kementerian BUMN Muhamad Said Didu. Lalu ada ekonom Ichsanuddin Noorsy, mantan Komisioner KPU Chusnul Mariyah, dan aktris senior Neno Warisman. (*)