GELORA.CO - Potensi kebocoran Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) era Presiden Joko Widodo diduga lebih tinggi dibandingkan yang pernah disampaikan ayah Prabowo Subianto saat menjabat Menteri Keuangan di era Presiden Soekarno, Prof. Sumitro Djojohadikusumo yang disebut mencapai 30 persen.
Lebih banyak (anggaran) bocornya (saat ini),” ujar ekonom Faisal Basri dalam diskusi virtual bertajuk 'Menjaga Indonesia: 75 Tahun Merdeka, Kok Masih Rajin Korupsi', Minggu (16/8).
Lebih dalam lagi, Faisal membeberkan data kebocoran tersebut bisa dilihat dari pendekatan Incremental Capital Output Ratio (ICOR).
Melalui ICOR bisa dikalkulasi besarnya tambahan kapital atau investasi baru yang dibutuhkan untuk menaikkan satu unit output dalam mendukung pencapaian pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional.
Faisal mengalkulasi ICOR yang dibutuhkan rezim Jokowi untuk menggenjot perekonomian sampai 6,5 persen. Sementara di orde lama alias rezim Presiden Soeharto hanya 2 persen. Sedangkan sejak era orde baru sampai pemerintahan Presiden SBY rata-rata ICOR-nya hanya mencapai 4,3 persen.
“Jadi kalau saya kalikan 6,5 persen dari ini dibagi 4,3 persen jadi dibutuhkan di era sekarang lebih banyak modal 50 persen pada banyak modal untuk menghasilkan yang sama dibandingkan yang sebelum-sebelumnya. Nah artinya kan boros,” terangnya.
“Pak Mitro juga dulu konteksnya ke ICOR, tapi ICOR terlalu teknis, jadi Pak Mitro (bilang) kebocoran. Artinya 50 persen itu bocornya lebih banyak secara relatif dibandingkan yang lalu,” tambahnya.
Di samping itu, Faisal juga merasa ICOR di rezim Jokowi membuka kemungkinan korupsi semakin merajalela. Untuk itu, ia menilai peran KPK sangat dibutuhkan sekarang ini untuk bergerak menindaklanjutinya.
Sebagai contohnya, Faisal menyinggung soal dana pemulihan ekonomi nasional untuk pemulihan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang disalurkan melalui Bank Himbara karena dalam satu bulan bisa mencapai Rp 20 triliun disalurkan ke ratusan ribu UMKM.
Kalau KPK serius itu gampang nangkapnya, karena itu Rp 20 triliunan lah tiba-tiba dana mengalir ke UMKM tapi UMKM-nya yang dulu sudah dapat dikanibalisasi," ungkap Faisal.
"Jadi saya dulu pinjam kredit ke bank BUMN, saya diundang oleh mereka 'eh mau kredit nggak? Ini kreditnya lebih murah. Kamu lunasi kredit yang lama, nanti saya kasih kredit baru dengan subsidi suku bunga dengan penjaminan dan sebagainya',” sambungnya. (Rmol)