Hal itu terlihat dari laporan Bank Indonesia (BI) yang menyebutkan sepanjang kwartal I tahun 2020 utang luar negeri pemerintah menurun atau berkurang sebesar 19,117 miliar dolar AS atau berkurang sebesar Rp277,2 triliun. Ini berarti pemerintah tidak bisa lagi mendapatkan pinjaman multilateral dan bilateral baru, tapi di sisi lain pemerintah dipaksa membayar utang jatuh tempo.
“Bukan hanya tidak diberikan utang, indonesia malah dipaksa harus membayar begitu banyak utang jatuh tempo, tanpa diberi kesempatan untuk reaceduling atau penundaan pembayaran utang maupun penundaan pembayaran bunga. Padahal pemerintah dalam posisi sedang sekarat akibat tidak ada uang karena Covid-19,” kata Daeng di Jakarta, Rabu (12/8).
Menurut Daeng, lembaga keuangan multilateral dan negara donor bilateral telah menetapkan Indonesia sebagai middle income country, sebagaimana dinyatakan World Bank baru baru ini. Artinya bahwa Indonesia tidak lagi berposisi sebagai penerima donor, namun sebaliknya Indonesia adalah pendonor baru.
Padahal Menteri Keuangan Sri Mulyani tengah mengambil ancang-ancang akan menggeser prioritas dari memburu utang dari pasar keuangan komersial beralih kepada pinjaman multilateral dan bilateral. Langkah tersebut berarti Indonesia akan beralih dengan meninggalkan global bond dalam semester II tahun 2020.
Daeng menilai kebijakan lembaga keuangan multilateral dan negara donor kepada Indonesia memang gawat jika dilihat posisi keuangan Indonesia saat ini. Sementara pada saat yang sama Indonesia tengah dipaksa mengambil utang ke pasar komersial dengan bunga sangat tinggi.
“Itulah mengapa Ficthratings lembaga peneringkat global merilis bahwa Indonesia berada pada posisi layak investasi (outlook stable). Artinya Indonesia layak mengambil utang pada pasar komersial dengan bunga tinggi. Padahal sepanjang kwartal II tahun 2020 Indonesia telah mengambil utang dalam bentuk SUN setara dengan rata-rata utang setahun hanya dalam empat bulan. Gawat juga ya?” tutur Daeng. (*)