Dokter Residen Istirahat Sebatas Puncak Gunung Es Semrawutnya Penanganan Covid-19

Dokter Residen Istirahat Sebatas Puncak Gunung Es Semrawutnya Penanganan Covid-19

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Kasus ratusan dokter residen yang istirahat menangani pasien Covid-19 sebatas puncak gunung es dari semrawutnya penanganan pandemik Covid-19.

Begitu kata Direktur Ekskutif Oversight of Indonesia's Democratic Policy, Satyo Purwanto yang miris melihat adanya ratusan dokter residen dari RSUP Kandou Manado, Sulawesi Utara beristirahat merawat pasien Covid-19 akibat kesulitan untuk membiayai Uang Kuliah Tunggal (UKT).

Menurut Satyo, kekacauan penanganan Covid-19 di Indonesia diakibatkan ruwetnya birokrasi yang dibuat pemerintah pusat.

"Fenomena itu ditandai dengan ratusan dokter dengan status residen yang terpaksa harus istirahat melayani pasien Covid-19 karena pembayaran insentif untuk dokter dan tenaga kesehatan macet," ujar Satyo Purwanto kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (9/8).

Hal itu, kata Satyo, terbukti karena aliran anggaran untuk bidang kesehatan guna pemulihan akibat pandemik Covid-19 baru mencapai 5,12 persen dari total alokasi sebesar Rp 87,55 triliun.

"Padahal sudah ada aturan yang direvisi yaitu KepMenkes Hk. 01.07/Menkes/278/2020 menjadi KepMenkes Hk. 01.07/Menkes/392/2020 tentang Pemberian Insentif dan Santunan Kematian bagi Tenaga Kesehatan yang Menangani Covid-19," kata Satyo.

Mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) ProDEM ini menilai bahwa semrawut penanganan Covid-19 sudah terlihat dari awal dengan adanya setumpuk aturan, namun pengaplikasiannya tidak relevan.

Misalnya, Keppres 12/2020 tentang Penetapan Bencana Non-alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan Keppres 9/2020 tentang perubahan atas Keppres 7/2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

"Ketika sudah menentukan Covid-19 bencana nasional non-alam dan BNPB sebagai leading sektornya, akan tetapi pada pelaksanaannya masih bertubrukan dengan Kemenkes, dengan seluruh penanganan di tingkat Pemda. Sedangkan dalam penegakan hukum protokol kesehatan BNPB tidak ada MoU dengan Polri dan TNI atau lembaga penegakan hukum lainnya," jelas Satyo.

"Maka tidak heran banyak distorsi dalam penanganan Pandemik Covid-19 ini dan ancaman ledakan kasus mulai kembali terlihat ketika peningkatan suspect perharinya semakin progressive," sambung Satyo.

Apalagi kata Satyo, semakin runyam di saat presiden merilis aturan terbaru yakni Perpres 82/2020 tentang Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

"Bingung dah kita, padahal sampai saat ini setahu saya aturan-aturan terdahulu belum pernah dianulir. Mestinya secara otomatis status keadaan darurat bencana menyesuaikan dengan Keppres 12/2020  selama Keppres tersebut belum pernah dinyatakan selesai, maka status kebencanaan masih berlaku," kata Satyo.

Persoalan pada akhirnya, terang Satyo ketika saat eksekusi anggaran karena pos-pos anggaran tersebut terdapat di Kementerian teknis. Faktor lainnya kata Satyo adalah persoalan leadership.

Banyak menteri dan pejabat di Kementerian/Lembaga saat ini tidak memiliki kecakapan taktis dalam melakukan kerja "out of the box" dengan cara membuat terobosan yang diikuti kebijakan yang tepat.

“Kasus-kasus seperti istirahatnya dokter residen adalah fenomena gunung es dari semrawutnya penanganan Pandemik ini, jadi istilah situasi extraordinary diganti aja dengan extrajoss pak, bisa langsung melek dan seger," pungkas Satyo. (Rmol)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita