Rizal Ramli melalui media konfrontasi online memberi pesan tentang moral politik ketika puluhan tokoh bangsa berkumpul merencanakan deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) . Tulisan tentang "Moral Politik" itu sesuai dengan pesan Rizal Ramli kepada saya sebagai syarat bergabungnya beliau dalam perjuangan bersama dalam koalisi KAMI baik tentang rencana kehadirannya pada acara tanggal 2 Agustus lalu, maupun selanjutnya.
Apa itu moral politik? Pertanyaan ini menjadi penting, karena syarat kesamaan moral politik dari tokoh Rizal Ramli adalah syarat mutlak. Oleh karenanya kita harus membedah dan memahaminya secara bersama.
Pada tahun 1992, ketika saya direkrut Adi Sasono, tokoh LSM (lembaga swadaya masyarakat) bekerja untuknya, dia menanyakan tentang moral politik pada saya. Sambil menyetir mobil mercy tua dari Bandung ke Jakarta, Adi yang adalah cucu Muhammad Roem, tokoh perundingan Roem-Royen untuk pengakuan kemerdekaan Indonesia di The Hague, meminta jawaban saya. Standar pengetahuan saya yang apolitis mengatakan bahwa moral adalah kelakuan asusila atau menjaga moral adalah menghindari perbuatan asusila, seperti berbuat zina, minum alkohol, mencuri dll. Namun, Adi membantah. Menurutnya orang-orang tidak bermoral adalah aktivis yang berburu sekolah keluar negeri dna merasa paling tahu Indonesia, padahal aktivis di Indonesia tersiksa oleh kebengisan rezim Soeharto.
Di masa setelahnya, saya baru bisa mengerti apa yang disebutkan Adi Sasono saat itu adalah pernyataan kontekstual. Konteksnya pertama Adi ingin menghibur saya yang dipecat dan dipenjara orde baru karena anti Suharto. Kedua memang para aktivis yang tidak memburu sekolah ke luar negeri dengan beasiswa asing lebih nasionalis dan berani tahan banting melawan Suharto. Ketiga, aktivis mahasiswa yang disekolahkan asing ke Amerika, Australia dan barat lainnya saat itu berubah dari kelompok perlawanan menjadi pengamat atau konsultan berbayar mahal.
Pada saat Adi Sasono menjadi menteri Koperasi di masa pemerintahan Habibie, saya meminta izin padanya untuk mendapatkan rumah di Kompleks Koperasi di sekitar Cibubur. Hal itu saya lakukan karena seorang staf ahli menteri mengatakan bahwa asal ada izin menteri maka saya akan mendapatkan satu rumah gratis. Dan tentu saya ingin memiliki rumah, karena saat itu masih ngontrak.
Adi Sasono bukannya menyetujui, malah dia membentak saya. Menurutnya pekerjaan politik saya adalah menggalang rakyat dan khususnya ke Aceh yang bergolak. Bukan mencari materi dalam perjuangan. Alhasil selama Adi Sasono menteri Koperasi, saya tidak membawa sama sekali penghasilan yang bisa ditabung dan rumah masih mengontrak.
Kekuasaan dalam moral politik adalah memperkaya rakyat miskin. Pada suatu hari Adi Sasono dan Muslimin Nasution, menteri Kehutanan Habibie, berunding dengan Raja Kebun Malaysia, Kuok. Kuok ingin memiliki 100.000 lahan untuk perkebunan. Adi menyetujui dengan syarat 70% untuk Koperasi dan 30% untuk Kuok. Kuok terkejut terheran-heran karena seharusnya pengusaha sebagai investor yang mendikte menteri dan porsinya 70% pengusaha, 30% mitra yang ditunjuk pemerintah. Namun, sebagai nasionalis Adi tetap bertahan koperasi rakyat memiliki 70%, karena tanah milik negara, uang atas beban pinjaman perusahaan, kontraktor dll dibayar perusahan. Akhirnya Kuok sepakat. (Sayang pemerintah Habibie terlalu cepat terguling).
Pada saat berkuasa, penguasa tidak boleh membawa pulang uang abu abu kerumah (abu abu atau tidak jelas asal usulnya). Hal ini diperlihatkan Hariman Siregar ketika menjadi kepercayaan Habibie lainnya saat itu. Semua orang boleh makan sepuasnya di Hotel Mandarin atau lainnya di mana Hariman menjamu orang politik. Namun, apa yang dapat dinikmati para aktivis miskin di hotel saat itu hanya di ruangan hotel itu saja. Hariman melarang aktivis memperkaya diri karena kekuasaan atau aktifis tidak boleh jadi broker "power" untuk kepentingan sendiri atau keluarga.
Kembali pada soal Moral Politik yang diangkat Rizal Ramli melalui media konfrontasi online, apa yang terjadi dalam kisah di atas dan tentunya kisah yang bisa digambarkan Rizal Ramli dalam posisi dia berkuasa tentu menjadi pengalaman segelintir orang suci politik. Politik di masa lalu adalah politik cita cita. Mohammad Hatta sampai meninggal dunia tidak mampu membeli sebuah sepatu yang dia inginkan. Soekarno tidak meninggalkan warisan. Adi Sasono sampai wafat adiknya tetap miskin di Pekalongan. Hariman Siregar hidupnya terus dalam standar kesederhanaan.
Namun, politik pasca orde baru bukanlah hitam putih lagi. Orang baik dengan cita-cita telah terdampar lebih buruk dibanding masa Suharto berkuasa. Saat ini politik dan cita-cita bangsa dikendalikan segelintir oligarki dan para taipan. Itu yang disebut Jeffrey Sach sebagai Korporatokrasi, lebih atau sama buruknya dari plutokrasi. Kenapa? Karena partai politik dan kekuasaan politik berkembang dengan reproduksi tokoh pencitraan dan dinasti. Demokrasi yang menaungi sistem politik yang ada sekarang. Selama 22 tahun reformasi, koruptor bukan hanya bisa menguasai partai dan menjadi referensi "kesucian", aparatur negara pun tidak berdaya berhadapan dengan mereka.
Bagaimana kedepan?
Menyaring pasir dengan ayakan halus akan membuat sedikit yang lolos saringan, sebaliknya menyaring dengan ayakan kasar, pasir kasar pun tidak tersaring. Habibie pernah mengingatkan tentang tetesan air yang jatuh tetes demi tetes ke batu karang akan menghancurkan batu karang itu perlahan.
Persoalan moralitas politik yang digugat Rizal Ramli tentunya tugas berat kita. Kita sedang melawan sebuah mental bangsa rusak, yang gagal di revolusi oleh Jokowi dengan Revolusi Mentalnya. Namun, kita tentu tidak menyerah. Standar moral ideal mengelola bangsa tetap pada 3 hal : 1) orang suci maupun insyaf harus di depan. Di depan artinya mengendalikan kepemimpinan perjuangan. 2) ideologi perjuangan adalah alat penyaring ("ayakan"). Ideologi adalah negara dan kekuasaan hanya berfungsi dua, utamanya, membuat orang lebih mencintai Tuhannya dan menjadikan orang miskin kaya. 3) negara dan kekuasaan harus adil terhadap eksistensi keberagaman suku bangsa kita.
Nasihat Rizal Ramli tentang moral politik, baik yang dipesankan kepada saya, maupun melalui media konfrontasi online, perlu menjadi perhatian serius gerakan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), yang dikumandangkan tanggal 2 Agustus lalu. Rizal yang menunda kehadirannya padahal sudah memberitahu Professor Din akan datang, saat itu mengangkat isu moral politik. Tentu saja saya harus membahasnya apa itu moral politik dan bagaimana kita harus merespon.
Moral politik adalah sebuah moral gerakan. Moral Politik adalah bagaimana kita melihat kekuasaan dan orang yang menjalankannya. Dalam moral politik yang benar, kekuasaan sejatinya hanya berfungsi untuk membuat rakyatnya lebih cinta Tuhannya (happiness) dan rakyat miskin itu semua jadi kaya. Dan ini terkait dengan penguasanya. Penguasa bermoral adalah penguasa yang tidak merampok uang negara untuk pribadi dan tidak memperkaya hanya orang kaya.
Namun tantangan kita saat ini lebih berat dibanding ketika Sukarno Hatta menjadi penguasa. Saat ini demokrasi uang dan uang telah menghancurkan moral yang ada. Sehingga kita perlu melakukan strategi yang tepat tanpa mengurangi garis ideologi perjuangan. Itulah arah perjuangan kita. (*)