Oleh: Trias Kuncahyono
PAGI itu, sangat berbeda. Penampilan Guru, tidak seperti biasanya. Guru memasang emblem merah-putih kecil di sisi kanan depan blangkon hitam polosnya. Guru, memang selalu mengenakan blangkon hitam polos gagrak Yogya, dan bersurjan hitam pula dengan bebet, berkain panjang batik motif kawung picis.
Sebenarnya, kawung picis adalah salah satu motif batik yang termasuk Awisan Dalem—motif-motif batik yang penggunaannya terikat dengan aturan-aturan tertentu di keraton dan tidak semua orang boleh memakainya. Batik larangan.
Ada beberapa yang masuk dalam kategori Awisan Dalem, yakni antara lain, Parang Rusak Barong, Parang Rusak Gendreh, Parang Klithik, Semen Gedhe Sawat Gurdha, Udan Liris, Rujak Senthe, Parang-parangan, Cemukiran, Kawung, dan Huk.
Kata orang ada kekuatan spiritual maupun makna filsafat yang terkandung dalam motif kain batik. Itu salah satu yang melatar-belakangi adanya batik larangan. Motif pada batik dipercaya mampu menciptakan suasana yang religius serta memancarkan aura magis sesuai dengan makna yang dikandungnya.
Motif kawung, misalnya, menggambarkan bunga teratai yang sedang mekar. Bunga teratai adalah lambang kesucian. Tetapi, motif kawung juga diartikan sebagai biji kawung atau kolang-kaling, yang sangat bermanfaat bagi manusia. Jadi, diharapkan siapa pun pemakai motif batik ini berguna bagi lingkungannya. Ada lagi yang mengartikan bahwa melambangkan empat penjuru: pemimpin harus dapat berperan sebagai pengendali ke arah perbuatan baik.
Mengapa Guru memakai kawung picis? Kami tidak tahu. Apakah Guru masih kerabat keraton? Yang pasti, Guru tidak pernah membahas soal itu dan tidak pernah mempersoalkan asal-muasal orang, golongan, derajat, pangkat, dan sebagainya. Semua dianggap sama, diperlakukan sama.
Yang selalau diajarkan Guru kepada kami: Semua manusia diciptakan sama derajatnya, diciptakan memiliki martabat sebagai pribadi. Ia bukan sesuatu, melainkan seseorang. Ia mampu mengenal dirinya sendiri, menjadi tuan atas dirinya, mengabdikan diri dalam kebebasan dan hidup dalam kebersamaan dengan sesama. Sesama di sini adalah tanpa pandang bulu, tidak di batasi oleh golongan, suku, agama, etnis, daerah, pangkat serta derajat, dan sebagainya.
Tiba-tiba, Guru berdehem, membuyarkan lamunanku tentang batik. Lalu berkata: Kalian semua melihat aku mengenakan emblem merah putih ini? Ya, kita semua merah putih. Sebentar lagi, kita memperingati ulang tahun ke-75 negara kita, bukan. Harus kalian catat, jangan pernah sekali-kali meninggalkan sejarah: bagaimana negara dan bangsa ini didirikan, untuk apa negara ini didirikan.
Abraham Lincoln (1809-1865), presiden ke-16 AS, suatu ketika mengatakan, “One cannot escape history, orang tidak dapat menghindar dari sejarah.” Apa yang dikatakan oleh Lincoln itu juga berlaku bagi kita semua.
Negara kita inipun memiliki sejarah; sejarah kelahirannya. Adalah sangat penting dan juga mendesak, kalian semua—juga aku tentu, sebagai rakyat—saat ini untuk memikirkan kembali makna berbangsa dan bernegara. Bangsa dan negara ini terbentuk karena adanya “keinginan keras untuk bersatu” walau berbeda-beda dalam banyak hal, tetapi bhinneka tunggal ika. Ingat itu!
Bung Karno—mengutip pendapat Ernest Renan (1823-1892) seorang filsuf, sejarawan, dan mahaguru dari Universitas Sorbonne, Perancis—mengatakan syarat adanya bangsa adalah le desir d’être ensemble, kehendak untuk bersatu. Orang-orang perlu merasa diri bersatu dan mau bersatu. Bangsa adalah satu jiwa, une nation est un ame. Selain itu, une nation est un grand solidarité, satu bangsa adalah satu solidariteit (rasa kesetiakawanan yang besar. Keinginan keras untuk bersatu itulah yang kemudian menumbuhkan nasionalisme.
Dalam Di Bawah Bendera Revolusi, Jilid I (1964), Bung Karno juga mengutip Ernest Renan mengatakan, “Bukannja jenis (ras), bukannja bahasa, bukannja agama, bukannja persamaan butuh, bukannja pula batas-batas negeri jang mendjadikan ‘bangsa’ itu.” Tetapi, seperti di atas sudah kukatakan, adalah adanya le desir d’être ensemble.
Guru berhenti sebentar, lalu mengatakan: Mungkin kalian kurang tertarik pada yang aku katakan pagi ini. Tetapi, terlepas tertarik atau tidak, kalian harus tahu tentang sejarah negara kita ini. Tentang arti pentingnya sejarah, pernah dikatakan oleh Tully atau nama aslinya Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) seorang negarawan, ahli hukum, ilmuwan, dan penulis kondang zaman Romawi.
Cicero mengatakan, Historia vero testis temporum, lux veritatis, vitae memoria, magistra vitae, nuntia vetustatis. Dalam bahasa Indonesia, apa yang dikatakan Cicero itu berarti, “Sejarah adalah saksi zaman, cahaya kebenaran, kenangan akan hidup, guru kehidupan, pesan dari masa lalu.”
Tetapi Guru, kata seorang kawan memotong penjelasan Guru, sejarah itu ditulis oleh pemenang. Bagaimana? Sebab, itu berarti versi pemenang.
Mendengar pertanyaan itu, Guru berkata: Ya, pernyataan seperti itu sudah lama ada. Ada yang menyebut Winston Churchill yang mengatakan. Ada yang mengatakan, itu ucapan Hermann Göring, salah seorang tokoh Nazi Jerman.
Tetapi, di Perancis tahun 1842 sudah ada yang mengatakan, “[L]’histoire est juste peut-être, mais qu’on ne l’oublie pas, elle a été écrite par les vainqueurs,” Sejarah barangkali benar, tetapi jangan dilupakan, sejarah ditulis oleh para pemenang. Pada tahun 1852 orang Italia mengatakan, “La storia di questi avvenimenti fu scritta dai vincitori,” Sejarah adalah peristiwa-peristiwa ini yang ditulis oleh para pemenang.
Biarlah mereka mengatakan, seperti itu. Tetapi, yang harus kalian tahu, sejarah bangsa kita, ditulis oleh bangsa kita sendiri yang menang melawan para penjajah. Yang telah mengalahkan egonya masing-masing. Mari kita baca dan pelajari sejarah bangsa kita.
Salah satu catatan sejarah yang kalian harus tahu adalah yang dikatakan Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945. Bung Karno mengatakan, “Apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan? Mendirikan negara Indonesia Merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan?… Kita mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia.”
“Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik Saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di sini, maupun Saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara – semua buat semua -. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi – semua buat semua.”
Bung Karno juga mengatakan, “…. Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya bertuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa.”
Seorang kawan lain memotong Guru. Tetapi Guru, mengapa kita sekarang menjadi bangsa yang sulit menghargai perbedaan? Selain sulit menghargai perbedaan, Romo Sindhunata pada tahun 2006 pernah mengistilahkan bangsa kita adalah “Bangsa yang tergesa-gesa.”
Guru diam sesaat lalu menjawab: Seorang filsuf asal Jerman, Karl Theodor Jaspers (1883-1969) mengatakan, demokrasi toleran terhadap segala kemungkinan, tetapi harus dapat menjadi intoleran terhadap intoleransi itu sendiri. Jadi, seperti sudah ditunjukkan oleh para Bapak Bangsa negeri ini, semestinya kita tidak toleran terhadap intoleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang sekarang makin terasa.
Padahal, bukankah kita semua tahu bahwa sejak semula bangsa kita beragam dalam segala hal. Negeri ini didirikan juga untuk semua, tidak mengecualikan, tidak pula mengistimewakan. Sebab, keragaman adalah sebuah keniscayaan, yang tidak bisa dipungkiri, yang tidak bisa dihapus atau dihilangkan. Bila bangsa ini tidak beragam lagi, itu bukan Indonesia.
Istilah, “Bangsa yang tergesa-gesa,” menggambarkan ada nafsu tak terkendali di sana. Kalau merasa tidak cocok, tidak sesuai dengan kemauannya, kemauan kelompoknya, kemauan golongannya—misalnya dengan pemerintah atau pejabat atau aturan—menuntut segera agar pemerintah atau pejabat atau aturan diganti.
Ketika tidak menyukai sebuah rezim kekuasaan, maka akan cenderung menyalahkan sistem, begitu pula sebaliknya. Ada kecenderungan tidak mempedulikan aturan main dalam negara demokrasi. Yang terjadi, justru membuat aturan main sendiri yang diselaraskan dengan kepentingannya. Mereka berteriak-teriak di jalanan, di televisi, di media sosial, juga mengancam untuk melampiaskan nafsunya. Itu cerminan irrasionalitas, bukan rasionalitas demokrasi.
Barangkali, sekarang ini adalah “Zaman Keburu Nafsu.” Setelah mengatakan itu, Guru lalu berteriak lantang, mengejutkan kami semua: Merdeka! Dan, kamipun berteriak lebih lantang: MERDEKA!
(Penulis adalah wartawan senior)