Upaya delegitimasi dilakukan dengan berbagai cara, mulai isu kekhawatiran terjadi klaster baru penyebaran Covid-19, hingga yang terbaru soal kehadiran anak proklamator Moh Hatta, Meutia Farida Hatta yang dipersoalkan beberapa pihak.
"Memang ini ada yang mencoba mencari celah lewat berbagai cara, tapi enggak nemu. KAMI sudah sesuai protokol Covid-19, izin sudah ada, lengkap," kata deklarator KAMI, Adhie Massardi kepada Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (20/8).
Bahkan ia mengaku ada yang sampai mencoba menyisir pernyataan KAMI, mulai dari karakter, kata, kalimat, alinea, hingga sampai halaman dalam deklarasi yang berisi delapan tuntutan.
"Tapi mereka tidak menemukan delik sama sekali. Karena KAMI memang berjalan dalam koridor demokrasi dan konstitusi. Itulah kenapa KAMI cepat menyebar ke berbagai daerah karena semuanya sudah sesuai koridor," jelas Adhie.
Soal kehadiran Meutia Hatta juga demikian. Mantan jurubicara Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ini melihat kehadiran Meutia yang dipersoalkan terjadi karena cara-cara yang sebelumnya dilakukan untuk menjegal KAMI gagal.
Pihak-pihak yang mencoba menggoyang KAMI seakan kehabisan akal. Melihat kehadiran Meutia Hatta di deklarasi, tampaknya menjadi memomentum mereka untuk mencari celah. Padahal faktanya, suami Meutia Hatta, yakni Sri Edi Swasono yang juga seorang gurubesar ekonomi Universitas Indonesia turut menjadi bagian deklarator KAMI.
"Ini kan jadi aneh. Semua clear, Bu Meutia setuju membacakan teks Proklamasi. Sebenarnya stop sampai di situ saja tidak ada masalah apa pun. Enggak ada yang perlu diklarifikasi atau diluruskan. Apanya yang diluruskan, tidak ada yang bengkok," tegasnya.
KAMI sendiri dibentuk bukan untuk menyerang pribadi seseorang, bukan secara personal, apalagi kepada seorang presiden. Adhie kemudian mengibaratkan KAMI seperti muadzin atau orang yang bertugas mengumandangkan adzan. Bedanya, yang dikumandangkan KAMI adalah peringatan tanda bahaya bagi negeri ini.
Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) ini menduga, kehadiran Meutia Hatta yang dipersoalkan oleh keponakannya sendiri, yakni Gustika Jusuf Hatta lebih kepada persoalan internal berkenaan dengan penghargaan Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA) yang pernah diberikan kepada Joko Widodo saat masih menjabat sebagai Walikota Solo, 2010 silam.
"Mungkin ada panitia atau keluarga yang tidak enak, atau ada tekanan. Dan jangan lupa, ada teman-teman yang aktivis korupsi yang mengusulkan award itu dicabut," tandasnya.
Seperti diketahui, Indonesia Corruption Watch (ICW) sempat meminta Bung Hatta Anti Corruption Award (BHACA) yang pernah diterima oleh Presiden Joko Widodo dicabut. ICW beralasan, Jokowi telah mengkhianati gerakan antikorupsi, salah satunya dengan membiarkan pengesahan revisi UU KPK yang disinyalir melemahkan keberadaan lembaga antirasuah tersebut. (*)