GELORA.CO - Rachmawati Soekarnoputri menang atas KPU di Mahkamah Agung (MA) terkait Pasal 3 ayat (7) PKPU Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum. Menurut Yusril Ihza Mahendra, putusan MA itu tidak ada kaitannya dengan hasil Pilpres 2019 yang memenangkan Joko Widodo-Ma'ruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden.
"Dalam Putusan itu, MA hanya menguji secara materil Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 apakah secara normatif bertentangan dengan UU di atasnya atau tidak. Putusan itu sama sekali tidak masuk atau menyinggung kasus sudah menang atau belum Jokowi dalam Pilpres 2019," ujar Yusril dalam keterangan tertulis, Selasa (7/7/2020).
Adapun aturan yang dimenangkan Rachmawati kemudian dihapus MA adalah Pasal 3 ayat 7 Peraturan KPU Nomor 5/2019 yang berbunyi:
Dalam hal hanya terdapat 2 (dua) Pasangan Calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai pasangan calon terpilih
Menurut Yusril, putusan tersebut tidak ada kaitannya dengan hasil Pilpres 2019. Ia mengingatkan, MA tidak punya wewenang terhadap sengketa pilpres, melainkan Mahkamah Konstitusi yang memiliki wewenang.
"Menang-tidaknya Jokowi dalam Pilpres 2019 telah diputus oleh MK karena hal itu menjadi kewenangannya. MA sama sekali tidak berwenang mengadili sengketa Pilpres. Putusan MK itu final dan mengikat. Dalam menetapkan kemenangan Jokowi dan Kiai Ma'ruf, KPU merujuk pada Putusan MK yang tegas menolak permohonan sengketa yang diajukan Prabowo Subijanto dan Sandiaga Uno," jelas Yusril.
Yusril yang merupakan kuasa hukum Jokowi-Ma'ruf Amin saat menghadapi sengketa Pilpres 2109 itu mengungkap, putusan MA soal gugatan Rachmawati dikeluarkan usai Jokowi-Ma'ruf dilantik menjadi presiden-dan presiden pada 20 Oktober 2019. Putusan MA itu juga menurutnya tidak berlaku surut.
"Lagi pula putusan uji materil itu diambil oleh MA tanggal 28 Oktober 2019, seminggu setelah Jokowi-Kia Ma'ruf dilantik oleh MPR. Putusan MA itu bersifat prospektif atau berlaku ke depan sejak tanggal diputuskan. Putusan MA tidak berlaku retroaktif atau surut ke belakang," ucap Yusril.
Dia mengatakan, aturan Pilpres yang hanya diikuti oleh dua pasangan calon memang tidak diatur dalam dalam Pasal 416 UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Yusril menyebut, ketentuan Pasal 7 ayat 3 Peraturan KPU (PKPU) No 5 Tahun 2019 itu mengaturnya dengan mengacu kepada Putusan MK No 50/PUU-XII/2017 yang menafsirkan ketentuan Pasal 6A UUD 45 dalam hal Paslon Capres dan Cawapres hanya dua pasangan.
"Dalam keadaan seperti itu, maka yang berlaku adalah suara terbanyak tanpa perlu diulang lagi untuk memenuhi syarat sebaran kemenangan di provinsi-provinsi sebagaimana diatur Pasal 6A itu sendiri. Patut disadari bahwa Putusan MK dalam perkara pengujian undang-undang mempunyai kekuatan yang setara dengan norma undang-undang itu sendiri, meskipun Putusan MK bukan merupakan suatu bentuk peraturan perundang-undangan," paparnya.
"MA memutus perkara pengujian PKPU itu dengan merujuk kepada Pasal 416 UU Pemilu yang tidak mengatur hal tersebut, sehingga menyatakan Pasal 3 ayat 7 PKPU itu bertentangan dengan UU Pemilu. Masalahnya MA memang tidak dapat menguji apakah PKPU tersebut bertentangan dengan Putusan MK atau tidak. Di sini letak problematika hukumnya," sambung Yursil.
Yusril kemudian berbicara soal putusan MK yang dimaksud dalam konteks pengujian terhadap norma Pasal 158 UU No 42 Tahun 2008 tentang Pilpres. Putusan MK itu dilakukan dalam konteks yang isinya sama dengan norma Pasal 416 UU Pemilu.
"Karena materi pengaturan yang diuji bunyinya sama, maka Putusan MK terhadap pengujian Pasal 158 UU No 42 Tahun 2008 itu mutatis mutandis juga berlaku terhadap norma Pasal 416 UU No 7 Tahun 2007 tentang Pemilu," urai dia.
Yusril pun berbicara soal teknis pemungutan suara yang harus terus di ulang-ulang agar memenuhi syarat kemenangan menurut sebaran wilayah bila calonnya hanya 2 pasang. Menurut dia bila hal itu terus diperdebatkan, maka pilpres akan menjadi tidak jelas kapan akan berakhirnya.
"Sementara masa jabatan Presiden yang ada sudah berakhir dan tidak dapat diperpanjang oleh lembaga manapun termasuk MPR. Ini akan berakibat terjadinya kevakuman kekuasaan dan berpotensi menimbulkan chaos di negara ini," tutur Yusri.
"Karena itu, kalau paslon Pilpres itu hanya dua pasangan, aturan yang benar dilihat dari sudut hukum tatanegara adalah Pilpres dilakukan hanya 1 kali putaran dan paslon yang memperoleh suara terbanyak itulah yang menjadi pemenangnya," imbuh Guru Besar Hukum Tata Negara itu.
Seperti diketahui, Rachmawati Soekarnoputri menang melawan KPU di Mahkamah Agung (MA) terkait Pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum. Putusan yang membatalkan peraturan KPU soal syarat suara mayoritas bila ada dua capres ini diketok oleh ketua majelis Supandi pada Oktober 2019 dan baru dipublikasi pekan ini.
KPU menyatakan perolehan suara Presiden Joko Widodo-Ma'ruf Amin sudah sesuai dengan syarat UUD 1945. KPU pun merujuk pada Pasal 6A UUD 1945.
"Bila peserta pemilu hanya ada 2 pasangan calon (paslon), secara logis seluruh suara sah secara nasional (100%) bila dibagi 2 paslon, tentu 1 paslon memperoleh suara lebih dari 50% (>50%) dan paslon lain memperoleh suara kurang dari 50% (<50%)," kata anggota KPU, Hasyim Asy'ari, dalam siaran pers yang didapat detikcom, Selasa. (*)