Tidak ikut sertanya kedua ormas dengan jutaan pengikut di Indonesia itu juga ironis, apalagi dalam Pilpres 2019 yang lalu, mereka juga memiliki peran dalam kemenangan Jokowi di periode kedua.
Terkait program POP, Ustaz Wildan memandang wajar NU dan Muhammadiyah mundur. Ini karena proses yang dilakukan oleh Kemendikbud tidak adil dan transparan.
“NU dan Muhammadiyah adalah dua ormas terbesar di Indonesia yang tidak bisa dibuat main-main dalam sebuah program yang mereka sendiri telah menjalankannya selama lebih dari seratus tahun,” kata Wildan, Jumat (24/7).
“NU dan Muhammadiyah mau ikut bergabung dalam POP Kemendikbud adalah sebuah berkah bagi pemerintah. Oleh karena itu, kekecewaan dari NU dan Muhammadiyah harus menjadi perhatian serius pemerintah,” lanjutnya.
Ketua Yayasan An-Nahla Bekasi ini menyampaikan bahwa NU dan Muhammadiyah telah jauh lebih awal sejak sebelum kemerdekaan Indonesia memiliki kontribusi sangat besar kepada bangsa dan negara termasuk dunia pendidikan tanah air. NU dan Muhammadiyah memiliki puluhan ribu satuan pendidikan yang bisa mandiri tanpa bantuan dana operasional dari pemerintah.
“Maka mundurnya NU dan Muhammadiyah dari POP merupakan kerugian besar bagi pemerintah. Pemerintah akan kehilangan legitimasi dari sebagian besar rakyat,” ujarnya.
Menurut dia, NU dan Muhammadiyah ingin turut terlibat dalam POP bukan karena sangat berharap bantuan dari pemerintah. Tetapi karena ingin turut serta secara aktif mencerdaskan kehidupan bangsa.
“Tanpa bantuan pemerintah, NU dan MU berhasil menunjukkan bahwa sistem pendidikan Islam adalah sistem pendidikan yang profesional, modern, tangguh dan bermartabat,” tuturnya.
Karenanya, Kemendikbud harus mengevaluasi POP agar semua elemen bangsa secara adil dan berimbang terlibat dalam peningkatan mutu pendidikan anak bangsa. “Ini penting dicatat oleh Kemendikbud,” ujar dia.(*)