Tak Hanya Sebut Akal Bulus, FPKS Juga Tuding Pemerintah Gunakan Dana Covid-19 Untuk Bayar Utang

Tak Hanya Sebut Akal Bulus, FPKS Juga Tuding Pemerintah Gunakan Dana Covid-19 Untuk Bayar Utang

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO -  Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Sukamta menyatakan bahwa Pemerintah melakukan akal bulus dalam memberikan bantuan dana dengan total Rp 152 triliun ke sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang terdampak pandemi Covid-19.

Menurut Sukamta, pada kenyataannya pemerintah memberikan Rp 128,13 trilliun untuk membayar utang pemerintah dan BUMN, sisanya Rp 22,27 triliun dalam bentuk penyertaan modal.

“Pemerintah beralasan bahwa bantuan dana diberikan kepada BUMN akibat dari Covid-19 yang membuat BUMN kesulitan likuiditas. Namun fakta-fakta menunjukan bahwa utang BUMN terjadi sebelum Covid-19 dan semakin parah ketika pandemi Covid-19 melanda," ungkap Politikus PKS itu dalam keterangan tertulis, Selasa (14/07/2020).

Selain itu, lanjut dia, kebijakan pemerintah yang memberi tugas kepada PLN dan Pertamina sebagai Public Service Obligation (PSO) membuat kinerja perusahaan tidak sehat.

"Dan selalu merugi apabila pemerintah tidak membayar kompensasi kepada BUMN tersebut," imbuhnya.

Sukamta merinci pembayaran kompensasi utang pemerintah kepada BUMN diberikan kepada tujuh BUMN dengan total Rp 108,48 triliun.

Alokasinya PT PLN (Persero) mendapatkan Rp 49,46 triliun, BUMN Karya Rp 12,16 triliun, PT Kereta Api Indonresia (Persero) Rp 300 miliar, dan PT Kimia Farma (Persero) Rp 1 triliun. Kemudian, Perum Bulog Rp 560 miliar, PT Pertamina (Persero) Rp 40 triliun, dan PT Pupuk Indonesia (Persero) Rp 6 triliun.

Pemerintah juga memberi bantuan dana talangan untuk membayar utang BUMN sebesar Rp 19,65 triliun diberikan kepada Garuda Indonesia (Rp 8,5 triliun), Perumnas (Rp 0,7 triliun), PT Krakatau Steel (Rp 3 triliun) , dan PT Perkebunan Nusantara (Rp 4 triliun).

"Padahal utang terjadi akibat pengelolaan yang buruk di BUMN."

Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI ini kemudian menyampaikan bahwa publik bertanya-tanya mengenai utang-utang dan kerugian yang terjadi di BUMN.

“Siapa dan bagaimana pertanggungjawabannya? Mengapa semua utang BUMN dibebankan kepada APBN? Padahal BUMN seperti Garuda Indonesia, BUMN Karya dan lain-lain sebagian sahamnya dimiliki oleh pemegang saham minoritas yang memiliki tanggung jawab yang sama," tandas dia.

"Namun mengapa masalah utang ini hanya pemerintah yang bertanggung jawab dan pemerintah lemah dihadapan pemilik saham lainnya," sindirnya.

Kemudian, lanut dia, BUMN sering berganti direktur dan komisaris BUMN namun ternyata tidak banyak mengubah kondisi BUMN.

"BUMN hanya dijadikan sapi perah, ajang bagi-bagi kekuasaan dan kue ekonomi bagi partai pendukung dan relawan pendukung Jokowi,” sindirnya.

Seharusnya, kata Sukamta, pemerintah Jokowi-Ma’ruf bersama Menteri BUMN Erick Thohir mengevaluasi terlebih dahulu BUMN yang bermasalah baik secara manajemen keuangan maupun tata kelola.

"Lakukan audit kinerja BUMN, kalau perlu audit forensik, agar jelas kerugian-kerugian BUMN ini disengaja atau tidak. Setelah evaluasi, BUMN-BUMN dengan kinerja baik layak mendapatkan bantuan modal baru," tegasnya.

Menurutnya, saat ini bukan saat yang tepat membayar hutang BUMN dan mungkin kebijakan lainnya yaitu memberikan pinjaman dana murah kepada korporasi besar dengan menggunakan uang berasal dari utang pemerintah.

"Lebih baik dana yang diberikan kepada korporasi besar langsung disalurkan kepada rakyat Indonesia yang terdampak langsung COVID-19. Bunga utang tahunan saja telah mencapai Rp 300 triliun pada tahun 2021. Kondisi ini semakin membebani APBN dan tentunya menjadi beban rakyat yang setiap tahun membayar pajak dan berbagai iuran yang kini gencar dipungut dan dinaikan oleh pemerintah, “ jelas ketua DPP PKS Bidang Pembinaan dan Pengembangan Luar Negeri ini.

Sukamta kemudian menjelaskan lebih detail akal bulus pemerintah yang memanfaatkan COVID-19 sebagai alasan untuk menutupi dan menyalurkan dana talangan kepada BUMN yang kinerjanya buruk.

1. PLN
Pemerintah memberikan kompensasi atas penugasan PSO kepada PT PLN (Persero) sebesar Rp 49,46 triliun.

Namun berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2020, pemerintah hanya menganggarkan Rp3,5 triliun untuk merealisasikan kebijakan membebaskan biaya listrik untuk pelanggan golongan 450 Voltampere (VA) dan memberikan potongan harga sebesar 50 persen untuk pelanggan golongan subsidi 900 VA selama 3 bulan.

"Sedangkan total piutang pemerintah kepada PLN sebelum COVID-19 terjadi mencapai Rp 49,46 triliun. Artinya ada Rp46,04 triliun yang dibayarkan pemerintah tidak terkait langsung dengan penanganan Covid-19," ungkapnya.

2. Garuda Indonesia
Pemerintah memberikan dana talangan kepada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk senilai Rp 8,5 triliun. Alasannya dana tersebut diberikan karena Garuda Indonesia mengalami penurunan penumpang sebesar 95 persen di tengah pandemi Covid-19.

"Namun faktanya, Garuda Indonesia memiliki hutang jangka pendek yang jatuh tempo pada Juni 2020 senilai US$ 500 juta atau sekitar Rp 7,5 triliun ( dengan asumsi kurs Rp 15.000 per dolar AS)," bebernya.

Surat utang Garuda Indonesia dirilis perusahaan pada tahun 2015. Alokasi surat utang ini untuk membayar utang yang jatuh tempo pada tahun 2015 sebesar US$ 350 juta. Penerbitan sukuk global tahun 2015 itu dipergunakan untuk menutupi kerugian Garuda pada tahun 2014 sebesar 373 juta Dollar AS.

Dijelaskannya, mengacu laporan keuangan Garuda 2019, total kewajiban jangka pendek perusahaan mencapai US$ 3,26 miliar atau sekitar Rp 51 triliun, meningkat US$ 0,2 miliar dari tahun 2018 sebesar US$ 3,06 miliar.

"Garuda memiliki masalah dalam kemampuan bayar utang karena hampir setiap tahun selalu merugi, artinya dalam kondisi normal saja Garuda tidak akan sanggup membayar utang sebesar US$ 500 juta. Sehingga alasan pemerintah memberikan dana talangan kepada Garuda dengan alasan Garuda terdampak Covid-19 sangat tidak tepat," tandasnya.

3. Pertamina
Kompensasi dari pemerintah kepada PT Pertamina sebesar Rp 40 trilliun.

"Faktanya utang pemerintah kepada Pertamina yang belum dibayarkan pada tahun 2017-2018 mencapai 41,6 trilliun," jelasnya.

Selain itu, kata dia, Pertamina mendapatkan kompensasi atas harga jual Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium dan Solar yang di bawah harga keekonomiannya yang belum dibayarkan pemerintah pada 2017 dan 2018.

"Utang pemerintah tersebut mencapai US$2,92 miliar atau sekitar Rp 41,6 triliun, dengan asumsi rerata kurs 2018 Rp14.246 per dolar AS. Pertamina akan merugi apabila pemerintah tidak membayar kompensasi PSO," ungkapnya.

4. PT Pupuk Indonesia
Pemerintah juga memberikan kompensasi kepada PT Pupuk Indonesia (Persero) sebesar Rp 6 triliun. Utang ini merupakan subsidi pupuk Kementan dan akumulasi dari kurang bayar sejak 2015 hingga 2017.

5. PT Krakatau Steel
PT Krakatau Steel diberikan bantuan sebesar Rp 3 triliun dengan alasan dana talangan itu sebagai relaksasi kepada industri hilir dan industri pengguna akibat Covid-19 namun fakta di lapangan menunjukan hal berbeda.

"Krakatau Steel telah lama bermasalah keuangannya. PT KS telah memiliki total hutang US$ 2 miliar atau sekitar 28 trilliun dengan kurs Dollar Rp 14.000,- di 10 Bank sebelum COVID-29 berlangsung."

Untuk diketahui, kata dia, laporan Badan Pemeriksa Keuangan 2015 dan 2016 secara jelas menyatakan porsi besar utang Krakatau Steel berasal dari pabrik peleburan tanur tiup.

"Hal ini menunjukan pengelolaan yang buruk dan invetasi yang gagal oleh PT KS. Kini utang tersebut belum lunas dan PT KS terancam gagal bayar," tandasnya.

5. PT Perkebunan Nusantara (PTPN)
PT Perkebunan Nusantara (PTPN) senilai Rp 4 triliun mendapat bantuan pemerintah akibat penurunan harga minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) dan volume permintaan ekspor. Padahal PTPN holding mempunyai total utang Rp 48 triliun dengan status terancam gagal membayar utang Rp 25,1 triliun.

6. PT Kimia Farma
PT Kimia Farma sebesar Rp 1 triliun, utang tersebut dibayarkan untuk melanjutkan produksi obat di tengah Covid. Di mana selama ini, BPJS Kesehatan belum membayar kepada Kimia Farma.

7. Perum Perumnas
Sepanjang tahun 2019, pendapatan Perum Perumnas anjlok 67,94% menjadi Rp 855 miliar dari tahun 2018 sebesar Rp 2,67 triliun.

"Sementara EBITDA Perum Perumnas pada tahun 2019 negatif Rp11,02 miliar dari Rp 603,4 miliar. Perumnas juga merugi Rp 408 miliar pada tahun 2019, padahal tahun 2018 untung Rp 305,8 miliar. Maka bantuan pemerintah sebesar 700 milliar jelas untuk menutupi kerugian tahun 2019," pungkasnya. []
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita