Soal Putusan MA, Fahri Hamzah: Konstitusi Mendesain Pemilu Tidak Ada <i>Presidential Threshold</i>

Soal Putusan MA, Fahri Hamzah: Konstitusi Mendesain Pemilu Tidak Ada Presidential Threshold

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Mantan Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah ikut sumbang pendapat terkait keputusan Mahkamah Agung (MA) bernomor No. 44 P/HUM/2019 yang mengabulkan gugatan Rahmawati terhadap PKPU 5/2019 yang dianggap tidak mengacu kepada Pasal 6A UUD 1945.

Dalam amanat konstitusi, sebagaimana diatur dalam Pasal 6A ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi; pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

Sedangkan pada saat Pilpres 2019 tahun lalu, pasangan calon (Paslon) Jokowi-Maruf Amin tidak memenuhi 20 persen suara di setengah Provinsi (18 Provinsi) yang ada di Indonesia.

Fahri berpendapat, sesuai amanat konstitusi, kemenangan Presiden dan Wakil Presiden terikat oleh tiga hal, yakni harus menang 50 persen +1 dari total jumlah pemilih, kemudian harus menang secara elektoral berbasis provinsi atau harus menang di 18 provinsi.

Yang ketiga, Fahri menyebutkan Paslon harus memperoleh suara minimal 20 persen di provinsi yang dimenangkan.

“Jokowi digugat di poin ketiga itu, karena tidak mendapatkan angka 20 persen, pada beberapa provinsi. Oleh karenanya tidak bisa disebut dalam kategori dalam pasal 6A ayat 3 UUD 1945,” kata Fahri dalam video yang diupload di Facebook miliknya, Rabu (8/7).

Menurutnya, kenapa akhirnya MA memenangkan gugatan Rahmawati lantaran MA mengacu kepada UUD 1945. Bahkan dari UU 17/2017 tentang Pemilu juga mengacu kepada sumber yang sama. Di sisi lain, dari UU 17/2017 mengisyaratkan bahwa Pilpres itu dua putaran tidak satu putaran atau hanya dua Paslon.

“Dalam artian Pemilu di putaran satu itu tidak memiliki thereshold (ambang batas), karena itulah parpol dapat mendaftarkan calon-calonnya menjadi peserta pemilihan Presiden,” kata Fahri.

Dengan begitu, lanjut Fahri, kesalahan pertama yang terjadi dalam Pilpres 2014 dan 2019 lantaran parpol yang memaksakan hanya dua pasangan calon dalam Pilpres sehingga seolah-olah, tafsirnya pada Pilpres kemarin langsung pada putaran kedua. Hal itu untuk menghindari syarat dan ketentuan konstitusi sebagaimana tertuang dalam pasal 6A ayat 3 UUD 1945 bahwa Jokowi harus memperoleh suara minimal 20 persen di provinsi yang dimenangkan.

“Karena mahzabnya Pemilu itu harus ada putaran pertama,” tandas Fahri.

Fatalnya, sebut dia, KPU mengabaikan konstitusi dengan hanya mengacu kepada kompromi dari partai-partai politik tentang presidentian threshold (PT) 20 persen sehingga baru bisa mengajukan Capres dan Wapres.

“Disinilah salahnya, disinilah kekeliruan berpikirnya,” pungkan Fahri.

Padahal, menurut Fahari, maksud konstitusi sdebagaimana dalam pasal 6A ayat 3 UUD 1945 itu menyadari bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, rakyatnya terpencar dari Sabang sampai Merauke oleh sebab itu absorsi pemimpin harus dimungkinkan harus berasal dari seluruh rakyat Indonesia. (*)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita