Siti Asiyah, Nenek 82 Tahun yang Duduk di Kursi Terdakwa PN Surabaya

Siti Asiyah, Nenek 82 Tahun yang Duduk di Kursi Terdakwa PN Surabaya

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Siti Asiyah tidak pernah menyangka harus menghadapi proses hukum pada usia senja. Nenek 82 tahun yang seharusnya istirahat dan bermain-main dengan cucunya di rumah itu harus bolak-bolak-balik datang ke persidangan.

LUGAS WICAKSONO, Surabaya

Jaksa penuntut umum (JPU) Suwarti harus kembali menjelaskan keterangan saksi dalam berita acara pemeriksaan (BAP) yang dibacakan saat persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Maklum, Siti yang duduk di kursi terdakwa tidak mengerti apa yang disampaikan jaksa saat membacakan keterangan saksi. ”Saya tidak tahu. Tidak ngerti apa yang diomongkan,’’ kata Asiyah perlahan Kamis (24/7).

Ketua Majelis Hakim Johanis Hehamony meminta jaksa kembali menjelaskan dengan cara yang bisa dipahami. Maklum, Asiyah yang kini sudah berusia 82 tahun mengalami gangguan pendengaran.

Sudah 12 kali ini dia datang ke PN untuk duduk di kursi pesakitan itu. Dia didakwa memberikan keterangan palsu saat melaporkan kehilangan surat hak atas tanah di Polda Jatim.

”Intinya, Pak Sumardji pemilik SHGB (sertifikat hak guna bangunan) mengatakan laporan ibu di kepolisian tidak benar,” kata jaksa Suwarti kepada Asiyah. ”Tidak benar, Bu,” jawab Asiyah yang sudah memahami kalimat jaksa.

Asiyah juga kembali mengaku tidak mengerti apa yang disampaikan jaksa saat membacakan keterangan saksi-saksi lain. Pengalaman seperti itu kerap terjadi selama belasan kali nenek tersebut menghadiri persidangan. Tidak tahu dan tidak mengerti adalah kalimat yang kerap disampaikannya. Baik untuk keterangan saksi yang hadir di persidangan maupun yang sekadar dibacakan jaksa karena saksi berhalangan hadir.

Asiyah kerap dibantu tim pengacara yang diketuai Sahlan Azwar selama persidangan berlangsung. Nenek itu hingga kini mengaku tidak pernah tahu mengapa dirinya harus duduk di kursi tersebut. Asiyah ditetapkan sebagai tersangka hingga kini menjadi terdakwa setelah dilaporkan Sumardji ke Polrestabes Surabaya. Pelapor adalah pihak yang menjadi lawan almarhum suaminya, Lalu Oemar, dalam sengketa tanah di Menanggal.

Kedua pihak sama-sama mengklaim pemilik sah tanah itu. Sumardji mengklaim memiliki SHGB atas tanah tersebut. Sementara itu, keluarga Asiyah juga mengklaim sebagai pemilik dengan bukti pethok D, letter C, dan lainnya. Namun, bukti pethok D dilaporkan hilang di Polda Jatim. Laporan itulah yang berujung proses pidana terhadap Asiyah. ”Saya tidak tahu apa salah saya. Nipu saja saya tidak terima,” katanya.

Tiga tahun lalu Asiyah melaporkan kasus sengketa hak atas tanah yang diklaim keluarganya di Polda Jatim. Dia didampingi anaknya, Arifin, dan sejumlah kerabat. Namun, laporan kehilangan itu hanya tertulis nama Asiyah sebagai pelapor. ”Saya tidak tahu kenapa kok harus saya, bukan yang lain,” ucapnya.

Anak Asiyah, Arifin, mengatakan bahwa laporan itu harus atas nama ibunya. Anak kelima tersebut menerangkan bahwa jika tidak atas nama ibunya, laporan tidak bisa diterima polisi. ”Karena ibu saya sebagai istrinya bapak. Orang yang paling dekat. Kalau atas nama yang lain tidak bisa,” kata Arifin.

Asiyah mengaku tidak pernah tahu-menahu mengenai perkara tersebut. Selama hidupnya, dia mengaku hanya di rumah. Almarhum suaminya kerap melarangnya mencampuri urusannya. Termasuk perkara tanah yang kini menjadi sengketa.

Sejak suaminya meninggal dunia pada 2003, Asiyah memberanikan diri membuka lemari khusus penyimpanan dokumen-dokumen penting milik almarhum suaminya. ”Almarhum suami saya punya lemari khusus yang tidak boleh dibuka semasa hidup. Akhirnya, anak-anak saya suruh buka setelah meninggal. Suratnya dicari, tidak ada. Dilaporkan hilang,” ujar Asiyah.

Asiyah tidak pernah menyangka ketika usia senja, dirinya harus menghadapi proses hukum. Sejak ditetapkan sebagai tersangka, dia harus bolak-balik ke kantor polisi untuk diperiksa dalam penyidikan. Meski hanya satu hingga dua jam, dia merasa lelah.

Begitu pula ketika dia yang kini berstatus tahanan rumah harus bolak-balik ke PN Surabaya untuk menghadapi proses persidangan. Asiyah yang tinggal di Jalan Gayungsari V hampir setiap pekan harus datang ke pengadilan. Dia bingung menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya tidak dia ketahui. Asiyah harus bertaruh dengan kesehatannya. ”Saya punya riwayat penyakit jantung. Darah tinggi. Pernah jatuh. Kalau dipakai duduk di kursi yang keras, pinggang saya sakit,” ucapnya.

Tim pengacara meminta agar kliennya disidang secara telekonferensi dari rumahnya. Pertimbangannya adalah kondisi kesehatan terdakwa yang sudah berusia senja. ”Apalagi sekarang lagi musim pandemi Covid-19 dan usia tua seperti Bu Asiyah ini rentan terpapar,” kata Umar Said, pengacara terdakwa.

Hingga akhirnya permintaan untuk sidang secara telekonferensi dikabulkan majelis hakim dalam sidang kemarin. Dengan demikian, mulai sidang berikutnya, Asiyah sudah bisa sidang dari rumah. Hanya tim pengacara, jaksa, dan majelis hakim yang tetap bersidang di ruang sidang.

”Kami juga tetap mempertimbangkan kemanusiaan. Terdakwa sebelumnya harus hadir di persidangan karena pengacara sebelumnya (yang kuasanya sudah dicabut) ngotot sehingga terdakwa harus dihadirkan,” ujar Ketua Majelis Hakim Johanis Hehamony.[jpc]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita