GELORA.CO - Elemen sipil di Aceh menolak rencana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mencabut Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2020. Mereka menilai rencana ini mengabaikan fakta kasus kekerasan seksual yang tergolong tinggi.
“DPR RI tidak punya iktikad baik untuk memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak. Padahal jumlah korban terus bertambah,” kata Presiden Serikat Inong Aceh (SeIA), Agustina, Rabu (8/7).
Rencana pencabutan rancangan ini dilakukan DPR dengan mengalaskan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKHUP) yang belum rampung. Padahal menurut Agustina, undang-undang ini penting untuk menangani dampak traumatis yang dirasakan oleh korban kekerasan seksual, terutama di masa konflik.
Agustina mengungkapkan banyak korban pemerkosaan yang mengalami gangguan dalam rumah tangga. Korban kerap mengalami perlakukan tidak baik dan direndahkan oleh pasangannya.
Korban dan keluarga mereka juga dicap buruk oleh masyarakat. Hal ini membuat mereka rentan terhadap kekerasan dan perlakuan tidak adil dari masyarakat. Pola ini tidak berbeda dengan yang dialami oleh korban kekerasan di masa sekarang.
“Ada korban pemerkosaan di Aceh Barat Daya yang dipaksa meninggalkan kampungnya karena dianggap aib. Kasus ini terungkap baru-baru ini,” kata Agustina, dilansir Kantor Berita RMOLAceh.
Terkait dampak kekerasan dari sisi medis, Bidang Kesehatan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Aceh, Teuku Ona Arief alias Dokter O, mengatakan pemerkosaan mengakibatkan luka, gangguan fungsi organ, atau bahkan kematian.
“Banyak korban mengeluhkan penyakit tertentu pada organ intim. Dapat dipastikan, para korban mengalami trauma psikologis yang jika tidak dipulihkan secara tuntas berpotensi menjadi masalah baru terhadap korban,” kata Dokter O.
“Termasuk trauma mental yang menyebabkan depresi berkepanjangan, bahkan perubahan konsep diri sehingga sulit untuk kembali hidup normal dan produktif,” imbuhnya.
Desakan memasukan kembali RUU Penghapusan KS ke dalam Prolegnas 2020 juga disampaikan oleh Direktur PKBI Aceh, Eva Khoviva. Menurut dia, RUU ini jangan lagi dibahas di Komisi VIII DPR RI. Dalam dua kesempatan yang tersedia, selama kurun waktu lebih dari empat tahun, komisi ini tidak berhasil membahas dan mengesahkan RUU ini.
“Untuk itu pembahasannya diserahkan saja kepada Badan Legislatif dan harus tetap menjadi prioritas dalam Prolegnas 2020,” kata Eva.
Menurut Eva, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bukan hanya terkait persoalan hukum, tetapi juga erat kaitannya dengan kesehatan reproduksi perempuan dan anak. Karena dengan memprioritaskan RUU Penghapusan KS, memperjelas pemihakan negara kepada korban. (Rmol)