Bibit vaksin ditargetkan selesai pada awal 2021 mendatang, baru setelah itu diproduksi secara massal. Salah satu pengembang vaksin yang masuk dalam kolaborasi internasional tersebut adalah Bio Farma.
"Nanti Bio Farma akan berperan aktif terutama nanti untuk melakukan produksi dari vaksin itu sendiri," ujar Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI, Selasa (14/7/2020).
Menurut Honesti, bila bibit vaksin awal 2021 nanti sampai ke Bio Farma tepat waktu, maka bukan tidak mungkin kuartal III-2021 mendatang, Indonesia bisa memproduksi massal vaksin tersebut.
"Seandainya nanti bibit vaksinnya sudah diketemukan dan diserahkan kepada Bio Farma. Terkait roadmap, kita berharap vaksin yang berdasarkan strain virus Indonesia ini nanti bisa diproduksi sekitar kuartal III atau kuartal IV-2021," ungkapnya.
Honesti optimistis pihaknya mampu memproduksi vaksin COVID-19 nanti hingga sebanyak 250 juta dosis per tahun.
"Kami alokasikan untuk porsi ini cukup besar, kita bisa memproduksi vaksin 250 juta dosis per tahun," ucapnya.
Rencananya, untuk mengembangkan dan memproduksi vaksin COVID-19 ini Bio Farma akan bekerja sama dengan Sinovac, perusahaan asal China dan Koalisi untuk Inovasi Persiapan Epidemi (Coalition for Epidemic Preparedness Innovations/CEPI).
Kerja sama dengan Sinovac tujuannya untuk transfer teknologi sedangkan dengan CEPI untuk membantu Indonesia membangun pabrik vaksin COVID-19 di Bandung. Sedangkan untuk uji klinis akan dilakukan bersama Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung.
Honesti menjelaskan total biaya yang dibutuhkan untuk pengembangan hingga produksi vaksin COVID-19 bisa mencapai Rp 103 miliar.
"Ada kebutuhan sekitar Rp 103 miliar untuk pengembangan vaksin ini," terangnya.
Kebutuhan anggaran itu terbagi untuk pengembangan vaksin nasional yang bibit vaksin berasal dari penelitian dalam negeri dan pengembangan vaksin hasil kolaborasi internasional dengan Sinovac dan Koalisi untuk Inovasi Persiapan Epidemi (Coalition for Epidemic Preparedness Innovations/CEPI).
"Untuk pengembangan vaksin nasional itu budgetnya sekitar Rp 63,2 miliar, kemudian kalau kita menggunakan beberapa budget untuk pengembangan vaksin kolaborasi dengan Sinovac terutama untuk uji klinis ini mungkin akan memakan biaya sekitar Rp 40,5 miliar," papar Honesti.
Sumber pembiayaannya sendiri, menurut Honesti, tentunya membutuhkan anggaran dari pemerintah dalam hal ini anggaran Kementerian Riset dan Teknologi / Badan Riset dan Inovasi Nasional Republik Indonesia.
"Terkait pembiayaan di sisi risetnya bisa menggunakan anggaran negara yang ada di Kemenristek untuk membiayai proses riset vaksin COVID-19 ini, jadi mulai dari pengembangan prosesnya nanti juga kami lakukan uji preklinis," tambahnya.
Sedangkan untuk uji klinis bisa menggunakan dana hibah dari sponsor dari dalam maupun luar negeri. Sedangkan untuk produksi, Bio Farma bisa menggunakan anggaran perseroannya sendiri.
"Uji klinisnya nanti mungkin kita bisa menggunakan dana yang ada atau anggaran yang di pemerintah atau juga nanti menggunakan dana hibah dari sponsor baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Untuk komersial, karena kami ada di industri, ini juga merupakan kompetensi kami, kita bisa pakai anggaran sendiri, jadi hanya anggaran untuk mengembangkan riset dan uji klinisnya pakai anggaran pemerintah," pungkasnya.(dtk)