GELORA.CO - Perselisihan Amerika Serikat (AS) dan China mengenai aksi spionase terus berlanjut. Departemen Kehakiman AS pun sudah mendakwa dua warga negara China yang diduga terlibat dalam kampanye spionase selama satu dekade terakhir.
Mereka adalah Li Xiaoyu dan Dong Jiazhi, warga negara China. Mereka diduga telah melakukan spionase pada para kontraktor pertahanan, peneliti Covid-19, dan ratusan korban lainnya di seluruh dunia.
Pihak berwenang AS mengatakan, keduanya telah mencuri data dengan kapasitas terabyte (TB) yang meliputi desain senjata, informasi obat, kode sumber perangkat lunak, dan data pribadi yang menargetkan para pembangkang dan tokoh oposisi China.
Mengutip Reuters, Li dan Dong adalah bagian dari kontraktor pemerintah China, bukan mata-mata independen.
Dalam konferensi pers pada Selasa (21/7), Asisten Jaksa Agung AS untuk Keamanan Nasional, John Demers mengatakan, peretasan tersebut menunjukkan China bersedia menutup mata terhadap peretas kriminal yang beroperasi di perbatasannya.
"Dengan cara ini, China telah mengambil tempatnya, bersama Rusia, Iran, dan Korea Utara, dalam klub negara-negara memalukan yang menyediakan tempat berlindung yang aman bagi para penjahat dunia maya sebagai imbalan bagi para penjahat yang dipanggil untuk kepentingan negara," terangnya.
Dalam surat dakwaan, tidak dijelaskan nama perusahaan atau individu yang menjadi target serangan kedua WN China tersebut. Namun Jaksa AS, William Hyslop dan Demers mengatakan jumlahnya ada ratusan.
Dijelaskan juga, penyelidikan berawal ketika terjadi peretasan jaringan milik Situs Hanford, kompleks nuklir AS yang dinonaktifkan, di Washington pada 2015.
"Li dan Dong adalah salah satu kelompok peretas paling produktif yang kami selidiki," ujar Agen Khusus FBI, Raymond Duda.
Selain itu, dalam surat dakwaan tertanggal 7 Juli tersebut disebutkan bahwa Li dan Dong merupakan kontraktor untuk Kementerian Keamanan Negara China atau MSS, agen rahasia yang sebanding dengan Central Intelligence Agency (CIA) milik AS.
MSS, kata jaksa penuntut, memberikan informasi kepada para peretas ke dalam kerentanan perangkat lunak penting untuk menembus target dan mengumpulkan informasi intelijen. Sasaran termasuk pengunjuk rasa Hong Kong, kantor Dalai Lama dan seorang non-profit Kristen China.
Pada awal 27 Januari, ketika wabah virus corona mulai menjadi fokus, para peretas mencoba mencuri penelitian vaksin Covid-19 dari sebuah perusahaan bioteknologi di Massachusetts yang tidak dikenal.
"Ini adalah ancaman mendasar bagi semua pemerintah di seluruh dunia dan kami berharap informasi yang berkaitan dengan perawatan dan vaksin ditargetkan oleh beberapa sponsor spionase dunia maya," kata analis senior di perusahaan cybersecurity FireEye, Ben Read.
"Dengan menggunakan freelancer ini memungkinkan pemerintah untuk mengakses berbagai talenta yang lebih luas, sambil juga menyangkal telah melakukan operasi ini," kata Read.
Sementara itu, Kedutaan Besar China di Washington mengatakan pihaknya juga menjadi salah satu korban dalam pencurian dan penyerangan dunia maya.
"China telah lama menjadi korban utama dari pencurian dan penyerangan dunia maya (dan) tegas menentang serta melawan (kegiatan semacam itu)," tegas kedutaan.[rmol]