Hal tersebut membuat para pemimpin Uni Eropa, yaitu Prancis, Italia, dan Jerman, mengaku sedang mempertimbangkan sanksi bagi kekuatan asing yang ikut campur dalam konflik Libya. Terutama mereka yang melanggar embargo senjata.
Adapun rencana tersebut dituangkan dalam pernyataan bersama yang dirilis oleh kantor kepresidenan Prancis pada Sabtu (18/7). Di mana pernyataan tersebut muncul setelah Presiden Prancis Emmanuel Macron, Kanselir Jerman Angela Merkel, dan Perdana Menteri Italia Giuseppe Conte melakukan pertemuan di Brussels.
Ketiganya mendesak semua aktor asing untuk mengakhiri campur tangan mereka dan menghormati embargo senjata Libya yang telah ditetapkan oleh Dewan Keamnana PBB.
"Kami siap mempertimbangkan kemungkinan penggunaan sanksi jika pelanggaran embargo di laut, di darat, atau di udara berlanjut dan menantikan proposal yang akan dilakukan Perwakilan Tinggi/Wakil Presiden Uni Eropa untuk tujuan ini," ujar mereka seperti dikutip CGTN.
Pernyataan bersama tersebut adalah yang pertama kalinya bagi ketiga kekuatan besar itu mengancam sanksi di tengah kekhawatiran eskalasi baru di kawasan.
"Kami berbagi keprihatinan serius tentang meningkatnya ketegangan militer di negara ini dan meningkatnya risiko eskalasi regional," kata mereka.
"Karena itu kami menyerukan semua partai Libya dan pendukung asing mereka untuk segera menghentikan pertempuran dan mengakhiri eskalasi militer yang sedang berlangsung di seluruh negeri," sambung mereka.
Selain memberlakukan sanksi pada pihak asing, para diplomat mengatakan negara-negara Uni Eropa juga dapat mempertimbangkan untuk menjatuhkan sanksi kepada individu-individu dari kedua pihak yang berseteru di Libya.
Konflik di Libya sendiri melibatkan dua kelompok yang berselisih setelah pemimpin Muammar Gaddafi digulingkan dan dibunuh pada 2011.
Pada 2014, Pemerintahan Kesepakatan Nasional (GNA) yang berbasis di Tripoli berebut kekuasaan dengan kelompok Tentara Nasional Libya (LNA) yang dipimpin oleh Komandan Khalifa Haftar yang berbasis di bagian timur.
Selama inim Turki diketahui telah memberikan sejumlah dukungan senjata hingga pejuang untuk membantu GNA. Sementara Haftar telah didukung oleh Rusia, bersama dengan Uni Emirat Arab (UEA) dan Mesir.
Pada Sabtu, GNA memindahkan pejuang lebih dekat ke Sirte, pintu gerbang ke terminal minyak utama Libya. Mereka berencana untuk merebut kembali wilayah tersebut dari pasukan Haftar. (Rmol)