Permenkes 3/2020 Buatan Menteri Terawan Digugat Ke MA Karena Dianggap Bahayakan Pasien

Permenkes 3/2020 Buatan Menteri Terawan Digugat Ke MA Karena Dianggap Bahayakan Pasien

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Apoteker Indonesia melalui Presidium Farmasis Indonesia Bersatu (FIB) menggugat Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) 3/2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit ke Mahkamah Agung (MA) RI.
Mereka menganggap Permenkes yang diterbitkan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto tersebut mengancam profesi apoteker dan keselamatan pasien. Dalam Permenkes tersebut, farmasi tak lagi dikategorikan sebagai pelayanan penunjang medik.

Padahal menurut Dewan Presidium Nasional FIB, Ismail Salim, praktik profesi apoteker di rumah sakit telah diatur pada PMK 72/2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di rumah sakit.

"Disebutkan bahwa peran profesi apoteker di rumah sakit meliputi standar pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai, dan pelayanan farmasi klinik," kata Ismail dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (11/7).

Ia berpandangan, pengelolaan sediaan farmasi hingga alat kesehatan yang tidak efisien nantinya akan merugikan rumah sakit secara ekonomi. Ketidakefisienan tersebut pun dikhawatirkan akan membahayakan pasien yang dirawat di RS.

"Munculnya PMK 3/2020 tentang klasifikasi dan perizinan rumah sakit menimbulkan kekhawatiran akan keselamatan pasien akibat tidak dikenalnya pelayanan kefarmasian sebagai suatu pelayanan tersendiri dan hilangnya pelayanan farmasi klinis," jelasnya.

"Peran apoteker memberikan kontribusi nyata dengan mempraktikkan ilmu farmasi klinis pada pelayanan kefarmasian tentu dipercaya mampu mencegah DRPs (Drug Related Problems/masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat)," tandasnya.

Setidaknya, ada beberapa tujuan yang disampaikan dalam pengajuan judicial review Permenkes 03/2020. Pertama, menyatakan bahwa pelayanan kefarmasian merupakan profesi yang profesional dan mandiri sebagai bagian dari pelayanan rumah sakit.

Kedua, berfungsinya pelayanan farmasi klinis yang menjamin tidak adanya medication error sehingga keselamatan pasien lebih terjamin dan menurunkan biaya pelayanan kesehatan.

Ketiga, adanya pengaturan jumlah SDM tenaga kefarmasian minimal yang harus disediakan oleh RS sehingga pelayanan terhadap pasien bisa paripurna. (Rmol)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita