Penulis: Gde Siriana Yusuf
SEPERTI dalam permainan catur, politik Jokowi sudah melewati permainan pembukan dan permainan tengah. Kini memasuki permainan akhir. Dalam permainan catur dikenal istilah "blunder" dan "zugzwang".
Blunder apabila pemain melakukan kesalahan fatal sehingga merugikan posisinya. Zugzwang jika pemain tidak memiliki pilihan langkah sehingga apapun langkah yang dijalankan adalah langkah keterpaksaan yang membuat posisinya semakin lemah. Kini kita bisa melihat permainan akhir Jokowi yang penuh dengan blunder dan zugzwang.
Blunder fatal pertama Jokowi adalah ketika membuat Perppu Covid-19 yang sudah disahkan menjadi UU. Dalam perppu ini, dalam waktu 3 tahun ke depan (2020-2022) eksekutif telah merampas hak budget rakyat yang diwakili DPR.
Jadi dapat dikatakan rezim Jokowi telah melakukan "kudeta terselubung" atas hak konstitusional rakyat untuk mengontrol pemerintah melalui hak budget DPR.
Mengapa DPR menerima, jelas ini buah dari grand coalition di pemerintahan Jokowi saat ini. Tidak mungkin fraksi di DPR menentang kebijakan strategis eksekutif karena parpol induknya ada dalam sistem eksekutif.
Blunder fatal kedua Jokowi adalah ketika memaksakan syahwat politik aji mumpung untuk membangun dinasti di Solo. Ini tidak saja menampilkan politik yang tak bermoral dan beretika, meski tidak ada UU yang melarang anak presiden aktif ikut pilkada.
Benar bahwa ini kontestasi politik, bukan jabatan dengan pengangkatan. Tetapi semestinya seorang presiden paham akan situasi kebatinan pejabat struktural yang ada di bawah pemerintah pusat. Juga budaya ewuh pakewuh pejabat daerah di Solo yang masih kental.
Saya yakin, tanpa diperintah langsung oleh Jokowi pun, semua struktur pemerintahan daerah di Solo akan memenangkan anak Jokowi. Juga kondisi masyarakat kita yang belum matang berdemokrasi. Dalam situasi normal saja masih sarat dengan "wani piro". Apalagi saat Covid-19 yang telah menekan ekonomi rakyat sampai ke panci dan penggorengan di dapur.
Dengan guyuran uang yang melimpah melebihi uang lawan (jika ada lawan) dipastikan siapun kontestan akan menang. Apalagi jika melawan kotak kosong. Tidak ada persaingan dalam uang cendol saat pencoblosan. Memangnya siapa yang biayai kampanye kotak kosong?
Jika Jokowi tidak memahami situasi ini artinya Jokowi tidak mengenal baik kondisi dan budaya masyarakatnya sendiri. Atau memang ini dimanfaatkan untuk membangun dinastinya. Jika mengenal betul karakter masyarakatnya tentu sebagai seorang pemimpin memberi contoh baik dalam berdemokrasi dengan mengedepankan moral dan etika, bukan syahwat membangun dinasti.
Apalagi dengan sistem threshold 20 persen, parpol-parpol menikmati previllege dengan mahar politik dari kontestan yang ingin diusung. Dengan grand coallition di pemerintahan, tentunya semua parpol pro pemerintah akan bergabung mengusung anak Jokowi. Sehingga tersisa PKS, tetapi tetap saja tidak bisa mengajukan calon lain akibat aturan threshold ini.
Apakah ini layak disebut demokrasi yang sehat? Apakah sistem kontestasi seperti ini yang kita mau? Itulah kenapa bung Rizal Ramli sangat lantang menentang aturan threshold ini. Aturan yang hanya akan membodohi rakyat dan memasung kehendak rakyat.
Dalam praktiknya, calon-calon kontestasi politik dipilih oleh para cukong konglomerat, kemudian ditawarkan kepada parpol. Jika uang kampanye yang dibutuhkan parpol deal, baru calon ditawarkan parpol kepada rakyat. Soal rating & elektabilitas bukan soal yang sulit dengan uang yang melimpah. Inilah buah dari demokrasi populism.
Saya mengusulkan jika ada calon kontestasi politik melawan kotak kosong, sebaiknya diganti saja dengan sendal jepit. Setidaknya sebelum memilih rakyat akan berpikir, mana yang lebih bermanfaat, si calon tunggal atau sandal jepit.
Kemudian saya akan bahas langkah "zugzwang" Jokowi. Dalam situasi ekonomi negara yang sudah masuk dalam krisis ini, nampak sekali pemerintah dalam posisi terjepit, langkah apapun yang diambil tidak bisa meyakinkan rakyat bahwa itu adalah sebuah harapan.
Tidak ada lagi yang bisa dilakukan kecuali menambah utang dan jual aset negara. Bahkan publik melihat bahwa porsi anggaran penanganan Covid-19 ini lebih besar pada sektor ekonomi dari pada persoalan kesehatan rakyat.
Ketika Jokowi membentuk tim baru pemulihan ekonomi & penanganan Covid-19, yang ketuanya Erick Tohir Menteri BUMN, ini menunjukkan adanya pemikiran untuk melakukan langkah shortcut.
Idealnya jika itu untuk pemulihan ekonomi dikendalikan langsung oleh Menko Perekonomian. Ini seperti ada keputusasaan tidak dapat memulihkan ekonomi, sehingga pejabat yang mengurusi ekonomi mikro (BUMN) ditugasi menyelesaikan persoalan makro. Ekonomi nasional bukan hanya BUMN tapi juga menyangkut ekonominya seluruh rakyat, yaitu swasta korporasi, koperasi, UKM, nelayan, petani, dll.
Selama ini yang sering dilakukan di BUMN untuk "operasi plastik" membaguskan laporan keuangan hanya bermain di sekitar jual aset, jual saham, dimerger agar rasio hutang terhadap aset jadi kecil, main di bursa saham dll. Singkatnya hanya permainan porto folio saja. Tidak ada membangun fundamental ekonomi nasional.
Padahal sejak sebelum Covid-19, Bung Rizal Ramli yang sangat paham permainan-permainan di BUMN sudah mengingatkan bahwa badai krisis ekonomi akan mudah menyerang Indonesia karena tidak memiliki fundamental ekonomi yang kuat.
Jadi pertanyaan besar lahir dari dibentuknya tim Erick Thohir ini, aset negara yang mana akan dijual? Berapa banyak lagi utang yang akan diciptakan?
Dari tim Erick Thohir ini juga saya melihat semakin jauhnya jangkauan Kementerian Kesehatan dalam menangani Covid-19. Di banyak negara yang menjadi leader dari penanganan Covid-19 adalah menteri kesehatan langsung. Ini menunjukkan tupoksi yang benar dan profesionalisme pejabat kesehatan.
Jadi kesimpulannya, sangat mungkin terjadi persoalan Covid-19 tidak tertangani baik, juga ekonomi tidak pulih-pulih karena kebijakan yang tidak tepat dan hanya mengandalkan utang dan jual aset.
Dari pemaparan di atas, sekarang ini kita sedang menyaksikan permainan akhir Jokowi yang penuh dengan langkah blunder & zugzwang. Cepat atau lambat kekalahan tak bisa dihindari. Hanya menunggu waktu. Entah besok, lusa, minggu depan atau beberapa bulan lagi. Kita tonton saja. (*)