Pengamat: Istana Sudah Tidak Sakral, Lebih sebagai Penyambung Kekuasaan Keluarga

Pengamat: Istana Sudah Tidak Sakral, Lebih sebagai Penyambung Kekuasaan Keluarga

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Ada kesan pergeseran fungsi kepala negara yang sejatinya menjadi utusan rakyat.

Hal itu terlihat dalam lobi yang diduga dilakukan pihak istana kepada mantan politisi PDIP, Akhyar Nasution untuk mundur dari kontestasi Pilkada Medan dengan imbalan jabatan seperti yang disampaikan loyalis Akhyar, Ustaz Ade Darmawan.

"Jika benar demikian, maka Istana sudah tidak lagi sakral dan milik semua warga negara, tetapi tidak lebih sebagai penyambung kekuasaan keluarga," ujar Dedi Kurnia Syah kepada Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (30/7).

Keberadaan presiden seharunya menjadi bagian dari musuh pelanggengan oligarki. Hal ini ditekankan Dedi lantaran kabar tersebut menjadi yang kesekian kalinya, setelah sebelumnya, politisi PDIP Achmad Purnomo yang sejatinya diusung DPC PDIP Solo di Pilkada 2020 juga ditawari hal serupa.

"Kekerabatan politik semacam ini semestinya yang dimusuhi Jokowi, bukan justru menjadi bagian dari pelanggengan oligarki. Bagaimana hendak menuju negara dengan birokrasi yang baik, jika simpul-simpul keluarga berkuasa di sana sini," jelasnya.

Ia mengamini di era demokrasi saat ini, pemilihan kepala daerah ujungnya akan ditentukan pilihan rakyat. Namun intervensi pihak istana tidak bisa diabaikan.

"Mengupayakan agar pilihan terbatas dan mengarah pada potensi kemenangan keluarga presiden adalah bentuk sabotase demokrasi," jelas Dedi.

Oleh karenanya, Dedi berharap para wakil rakyat segera merancang undang-undang untuk menghindari praktik dinasti politik.

"Kiranya kita perlu punya UU yang mengatur kekuasaan itu tidak secara bebas diikuti oleh keluarga penguasa agar terjadi pemerataan kepemimpinan, juga regenerasi politik yang lebih baik," pungkasnya. []
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita