GELORA.CO - Diskotek, tempat karaoke, dan griya pijat Top One digerebek pada Jumat pekan lalu. Penggerebekan berkaitan dengan pelanggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) masa transisi fase pertama itu menyisakan pengakuan pengunjung yang cukup mencekam.
Dilansir kantor berita Antara, Rabu (8/7/2020), salah seorang pengunjung yang mengaku bernama Wanda menyebutkan, sekitar pukul 03.00 WIB pada Jumat (3/7) dini hari, dirinya diminta pengelola diskotek bersembunyi dengan alasan ada razia dari BNN. Wanda mengaku diminta bersembunyi hingga pukul 10.00 WIB pagi.
"Jadi dibilangnya ada razia BNN, kami semua dikumpulin di tangga darurat, lampu dan AC semua dimatiin, gelap gulitalah," ucap Wanda saat dihubungi.
Padahal, penggerebekan dilakukan oleh Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf) DKI Jakarta serta Satpol PP Jakarta Barat. Wanda beserta ratusan pengunjung lainnya mengeluh karena panas dan pengap di 'tempat persembunyian' itu.
Namun pengelola, menurut Wanda, tetap meminta mereka bertahan. Selain itu, Wanda menyebut ponselnya dan ponsel pengunjung lain diminta dikumpulkan oleh pihak keamanan Top One.
"Sebelum ponsel disita itu saya masih sempat minta taksi online jemput, soalnya dibilang jam enam bisa keluar. Tapi sampai pagi kami masih dikunciin juga," tuturnya.
Pada pukul 10.00 WIB, kata Wanda, para pengunjung dipindahkan ke lantai paling atas. Namun, menurut Wanda, saat itu mereka belum bisa pulang.
"Kami dipindah ke rooftop, di situ lega, tapi masih belum boleh keluar karena katanya masih ada BNN," ujarnya.
Selang beberapa waktu terdengar entakan kaki dan teriakan dari lantai bawah yang belakangan diketahui puluhan petugas Satpol PP yang merangsek masuk ke gedung Top One. Tidak berselang lama, sejumlah anggota kepolisian dan Satpol PP menuju ruangan tempat berkumpulnya seluruh pengunjung Top One.
Ketika itu, meski khawatir ditangkap aparat, Wanda mengaku gembira dapat meninggalkan Top One dan bisa segera pulang ke rumah. Dia bersama seluruh pengunjung lain pun diminta turun dan meninggalkan gedung. Setelah dikumpulkan di bagian belakang gedung, mereka kemudian didata hingga akhirnya dipulangkan.
Takut campur seneng, seneng bisa keluar dari situ," ucapnya.
"Dari kejadian ini, saya kapok, saya nggak lagi ke situ (Top One), itu karena saya diajak aja sama temen, baru sekali-kalinya ke situ," ujar dia.
Di sisi lain, Humas Top One, Andry, mengakui pihaknya mengunci gedung dan menempatkan seluruh pengunjung di rooftop. "Kan, tidak masuk akal orang lagi panik ketakutan kok mau berbuat yang tidak-tidak. Suasananya mencekam ditambah banyak ruangan masih gelap gulita," kata Andry dikonfirmasi pada Senin (6/7).
"Pada dasarnya kami mohon pembinaan Pemerintah DKI Jakarta agar usaha di sektor tempat hiburan tetap berjalan sebagai mana mestinya," imbuhnya.
Belakangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memutuskan sanksi kepada diskotek Top One. Sanksi yang diberikan berupa penyegelan dan denda maksimal senilai Rp 25 juta.
"Sesuai Pergub 51, disegel dan didenda. Nanti yang kasih sanksinya Satpol PP. Kita tadi sudah proses BAP-nya untuk segera dikirim ke Satpol PP," ucap Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf) DKI Jakarta, Cucu Ahmad Kurnia, saat dihubungi, Jumat (3/7/2020).
Dalam satu lokasi di Top One, terdapat usaha diskotek, griya pijat, dan karaoke. "Yang bermasalah itu cuma diskotek," kata Cucu.
Cucu menerangkan Pemprov DKI memberikan denda maksimal kepada manajemen Top One. Mereka harus membayar denda tersebut karena melanggar peraturan PSBB Transisi.
"Iya (dihukum denda) maksimal Rp 25 juta. Nanti juga dari kita ada SP (Surat Peringatan) 1," kata Cucu.
Dengan diberikan SP, jika Top One kembali melanggar, maka Pemprov DKI akan mencabut izin usaha dari Top One.(dtk)