“Ini penting, terkait dengan diagnosa, dan pengobatan, termasuk pencegahan menggunakan vaksinasi, karena ada kemungkinan (galur virus corona) di Indonesia sendiri…ada kemungkinan itu bisa berbeda antara Jawa Tengah dengan Jawa Barat. Atau di Jawa Tengah sendiri itu bisa berbeda antara (galur virus corona) di Solo dengan Semarang, atau bahkan antara kecamatan yang satu dengan kecamatan yang lain,” kata Wasito, seperti dilansir BBC News, Rabu(22/7).
Prof Wasito, yang juga terlibat dalam penelitian dan pengujian vaksin pada hewan untuk penyakit yang disebabkan oleh virus corona di Michigan State University, Amerika Serikat selama kurang lebih 12 tahun, mengatakan bahwa galur atau strain virus corona yang ada di Indonesia mungkin berbeda dengan galur virus corona di negara lain, sehingga jenisnya harus dipastikan terlebih dahulu agar vaksin virus corona dapat bekerja dengan efektif.
“Cara terbaiknya adalah kita harus menentukan galur-galur virus corona yang ada di seluruh Indonesia. Kemudian kita bisa menentukan apakah sequence DNAvirus kita sama dengan yang di China atau di AS. Kalau itu beda sama sekali, kita harus membuat vaksin sendiri,” katanya.
Indonesia tidak bisa mengandalkan vaksin dari luar negeri karena bisa jadi urutan DNA nya tidak sama dengan virus corona dari negara asal pembuat vaksin.
“Kita tidak bisa mengandalkan vaksin dari luar negeri, karena misalnya urutan DNA (virus corona di luar negeri) itu berbeda dengan DNA virus corona yang ada di Indonesia,” ujarnya.
Hal itu penting diperhatikan karena seed virus, atau virus yang digunakan untuk pembuatan vaksin, harus sama dengan virus corona yang bersirkulasi di lapangan yang menginfeksi manusia.
“Cara kerja vaksin adalah key and lock, kunci dan gembok, itu harus pas. Kalau tidak, akan terbentuk zat antibodi di tubuh manusia namun tidak bisa menetralisir virus yang ada di lapangan yang masuk ke manusia, karena galurnya berbeda,” jelasnya.
Ia mengatakan, penggunaan vaksin untuk mencegah penularan virus corona perlu dilakukan dengan ‘hati-hati.’
Untuk menyuntikkan vaksin ke seseorang, orang tersebut harus dalam keadaan sehat. Hal ini mungkin menjadi tantangan tersendiri untuk virus SARS-Cov2, penyebab Covid-19, lantaran adanya orang tanpa gejala yang ketika menjalani tes virus corona hasilnya negatif palsu, atau false negative, kata Prof Wasito.
“Kemungkinan false negative bisa terjadi, karena virus corona masuk ke tubuh seseorang dalam bentuk RNA (ribonucleic acid, atau inti sel) bukan bentuk utuh virus, lalu orang yang kemasukan RNA ini tidak sakit. Tapi suatu saat, orang yang bersangkutan bisa stress, maka RNA ini akan diubah menjadi bentuk virus corona utuh, sehingga yang bersangkutan akan terdeteksi memiliki virus corona,” jelasnya.
Sementara itu, Prof Kusnandi Rusmil dari Universitas Padjajaran mengatakan bahwa strain virus corona yang ada di Indonesia “sama” dengan strain virus corona di luar negeri.
“Kalau virus corona di mana-mana sama. Virus flu itu ada yang di Amerika, ada yang di Afrika, ada yang di Australia, obatnya sama, vaksinnya juga sama,” kata Prof Kusnandi.
Sebanyak 2.400 vaksin Sinovac tiba di Indonesia pada Minggu (19/07), dan Bio Farma berencana menggelar uji klinis, yang telah memasuki tahap ketiga, pada Agustus 2020.
BUMN itu akan bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran Unpad, yang akan menguji vaksin kepada 1.620 subyek yang berusia antara 18-59 tahun.
Selain diuji klinis di Indonesia, vaksin Sinovac juga tengah diuji klinis di Bangladesh, Brasil dan Turki. Vaksin dari Sinovac dipilih karena “metode pembuatan vaksin yang digunakan oleh Sinovac sama dengan kompetensi yang dimiliki oleh Bio Farma saat ini. Dengan metode inaktivasi tersebut, Bio Farma sudah memiliki pengalaman dalam pembuatan vaksin seperti vaksin Pertusis,” kata Bio Farma melalui pernyataan resminya yang dirilis Senin (20/07).
Iwan Setiawan, kepala departemen komunikasi Bio Farma mengatakan, selain metode produksi vaksin yang sama, Sinovac dipilih karena catatan jejak perusahaan itu dalam mengembangkan vaksin SARS dan flu babi.
“Selain kesamaan platform tersebut, alasan pemilihan Sinovac adalah mereka memiliki kemampuan pengembangan vaksin Covid-19 tercepat, dan memiliki pengalaman sebagai perusahaan pertama di dunia yang menyelesaikan [uji klinis] fase 1 untuk vaksin SARS.
“Kemudian Sinovac pun memiliki produk vaksin H1N1 [flu babi] pertama yang disetujui oleh dunia. Hal lainnya adalah ada kerjasama yang dilakukan bersama Bio Farma dalam hal produksi vaksin Inactivated Polio Vaccine (IPV) atau vaksin polio yang di-inaktivasi [pemberian vaksin melalui suntikan].”
Meski akan menguji klinis vaksin buatan Sinovac, Bio Farma mengatakan pihaknya tetap akan membuat vaksin Covid-19, melalui konsorsium nasional yang beranggotakan Balitbangkes dari Kemenkes RI, Lembaga Biomolukuler Eikjman dari Kemenristek RI dan Bio Farma.
Vaksin buatan Indonesia ini kemungkinan akan diuji klinis tahap pertama pada kuartal IV tahun depan.
“Eijkman Institute akan mengembangkan klon prototipe sebagai milestone pertama dan target untuk mengirimkan prototipe kandidat vaksin ke Bio Farma pada Februari 2021,” katanya.
“Selanjutnya Bio Farma akan melanjutkan pengembangan dengan memulai lot eksperimental, optimalisasi proses, dan up-scaling untuk skala produksi yang akan dilakukan pada Q2 2021, yang diikuti oleh fase 1 uji klinis yang akan dimulai pada Q4 2021. Jika hasilnya baik, vaksin akan tersedia untuk masyarakat pada Q4 2022,” ujar Iwan.(*)