Pasutri Bupati Dan Ketua DPRD Kutim Tercokok KPK, Satyo Purwanto: Threshold Suburkan Oligarki Politik

Pasutri Bupati Dan Ketua DPRD Kutim Tercokok KPK, Satyo Purwanto: Threshold Suburkan Oligarki Politik

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Adanya threshold atau ambang batas pencalonan pada pemilihan umum (Pemilu) dinilai rawan konflik kepentingan dan politik uang.

Direktur Ekskutif Oversight of Indonesia's Democratic Policy, Satyo Purwanto mengatakan, adanya threshold membuat para calon yang maju Pemilu harus menggelontorkan biaya yang sangat besar.

Sehingga, sangat dimungkinkan menggunakan cara-cara yang tidak masuk akal, mulai mencari dana saat pencalonan hingga nantinya kembali mencari dana untuk menggantikan biaya kepada para pendonor.

"Mestinya UU Pemilu harus sarat dengan pembenahan dan bersifat jangka panjang, ada yang salah dalam sistem pemilu saat ini, terutama pemilu Pilpres dan Pilkada di Indonesia. Threshold akhirnya menjadi "berhala" dalam nilai-nilai demokrasi, brengseknya aturan ini pun masih masuk draf RUU Pemilu yang akan diajukan oleh KPU," ucap Satyo Purwanto kepada Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (23/7).

Satyo melanjutkan, threshold juga dinilai dapat menyuburkan oligarki politik yang disebabkan beberapa faktor. Seperti regulasi, tata kelola partai politik yang belum demokratis, serta penegakan hukum, kesadaran dan pemahaman politik masyarakat yang tidak merata di setiap daerah.

"Regulasi yang ada membuat oligarki politik mendapatkan manfaat ekonomi," kata Satyo.

Apalagi kata Satyo, penerapan ambang batas pencalonan Presiden ataupun Pemimpin daerah dapat menyebabkan generasi muda, sosok terbaik, hak perempuan hingga kader terbaik partai sulit untuk mengikuti kontestasi dengan berbagai sebab.

"Ambang batas pencalonan membuat akses partisipatif masyarakat menjadi terbatas. Ini menjadi ironis," terang Satyo.

Tak hanya itu sambung Satyo, ambang batas pencalonan juga mendistorsi nilai-nilai demokrasi karena berpeluang terjadinya transaksi politik dari partai politik atau pun calon pemimpin dengan para mafia ekonomi.

"Seperti contoh kasus Bupati Kutai Timur akibat adanya "driver cost" atau menjadi pemicu biaya saat menembus ambang batas yang memerlukan biaya sangat besar hingga merusak akal sehat," jelas Satyo.

"Bahkan masyarakat kadang tidak diberikan pilihan calon pemimpin yang terbaik akibat hanya ada 1 calon tunggal, yang istilahnya melawan "kotak kosong", kondisi ini mendegradasi demokrasi ke level terbawah, ini adalah dampak negatif dari penerapan threshold yang rawan konflik kepentingan dan politik uang," pungkas Satyo.(rmol)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita