Oleh:Dr. Atang Irawan
DERETAN Rancangan Undang Undang (RUU) yang berimplikasi kepada kepentingan rakyat terkikis habis dengan alasan yang tidak signifikan.Setelah RUU PKS, kini RUU Pekerja Rumah Tangga (RUU PRT) menjadi kisah memilukan karena tidak ditetapkan dalam paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) padahal RUU itu sudah 16 tahun menunggu untuk ditetapkan.
Ironisnya, narasi-narasi partai politik yang mengklaim memperjuangkan hak-hak fundamental rakyat, namun dengan alasan yang sangat sederhana yaitu masalah administratif, maka RUU PRT tidak diagendakan dalam paripurna DPR tanggal 16 Juli 2020.
Lelucon ini tentunya bukan hanya moral obligation tetapi tradisi legisferitis semakin akut, bahkan cenderung menjadi candu dalam proses legislasi.
Bahwa politik legislasi terkesan hanya sebatas kepentingan pragmatis semata, tidak menyandarkan pada kepentingan strategis rakyat sebagai wujud perlindungan atas hak-hak fundamental rakyat.
Ketidakseriusan mengawal RUU yang bekepentingan langsung kepada rakyat, dapat dilihat dari lemahnya responsibilitas politik legislasi terhadap prioritas kepentingan rakyat.
Seharusnya politik legislasi menyandarkan pada tujuan bernegara sebagaimana dijelaskan dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu social defence (perlindungan terhadap rakyat), social welfare (kesejahteraan rakyat) dan justice for all (keadilan untuk seluruh rakyat).
Kedudukan PRT sangatlah signifikan untuk diakselerasi dalam RUU sebagai wujud perlindungan terhadap hak-hak fundamental rakyat. Apalagi UU 13/2003 tentang ketenagakerjaan, tidak menjangkau PRT ke dalam sistem hubungan kerja karena majikan pekerja rumah tangga tidak tergolong “pemberi kerja”, bukan badan usaha sehingga dengan demikian bukan “pengusaha”.
Artinya tidak ada hubungan kerja antara majikan (baca: pemberi kerja) dengan pekerja rumah tangga. Bahkan sejak dalam terminologi (baca: pengertian), PRT telah termarjinalisasikan karena PRT sama sekai tidak diletakan sebagai pekerja (workers), melainkan hanya sebagai pembantu (helper) atau dalam term tertentu, pesuruh.
Memilukan jika memperhatikan narasi yang dibangun dalam Pasal 28 UUD 1945 yang mengharuskan seluruh elemen bangsa (organ negara dan rakyat) untuk tidak mengingkari hak-hak rakyat.
Misalnya saja Pasal 28D ayat (1) yang menekankan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.
Lebih miris jika dibaca ayat (2)-nya yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.
Tak terbayangkan terhisapnya hak-hak PRT jika kita menelusuri konvensi internasional bahkan puluhan konvensi yang telah diratifikasi oleh Negara Republik Indonesia.
Misalnya Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR), Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convenants on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women/CEDAW).
Selain itu, Konvensi untuk menekan Perdagangan Manusia dan Eksploitasi Prostitusi, Konvensi ILO tentang Kerja Paksa, 1930 (Konvensi ILO No. 29), Konvensi ILO tentang Penghapusan Kerja Paksa, 1957 (Konvensi ILO No. 105), Konvensi ILO tentang Usia Minimum, 1973 (Konvensi ILO No. 138).
Konvensi internasional lainnya yakni, Konvensi ILO tentang Bentuk-bentuk Terburuk Perburuhan Anak, 1999 (Konvensi ILO No. 182), Konvensi ILO tentang Kesetaraan Pendapatan, 1951 (Konvensi ILO No. 100), dan Konvensi ILO tentang Diskriminasi (pekerjaan dan jabatan), 1958 (Konvensi ILO No. 111).
Konstitusi melarang segala penghisapan atas hak-hak fundamental rakyat oleh siapapun dalam bentuk apapun. Bahkan seharusnya dibaca bahwa konstitusi memerintahkan kepada organ negara untuk memberikan perlindungan terhadap rakyat.
Jika negara melakukan pembiaran maka sesungguhnya merupakan kejahatan atas kemanusiaan karena pelanggaran terhadap perintah konstitusi termasuk organ negara tidak berbuat atau melakukan sesuatu yang diharuskan/diperintahkan merupakan bentuk pembiaran (delik omissionis).
Ironisnya partai-partai besar yang malah menolak keberadaan RUU PRT untuk dilanjutkan dalam pembahasan paripurna. Konon kabarnya, salah satu fungsi partai politik adalah mengakselerasi aspirasi dan partisipasi rakyat.
Padahal daftar (whistlist) RUU yang berimplikasi kepada kepentingan rakyat hanya sebagian kecil dalam daftar Prolegnas prioritas tahun 2020, jika dibandingkan dengan RUU yang beririsan dengan kepentingan konfigurasi politik.
Dengan demikian whistlist Prolegnas harus menegaskan proporsi RUU kepentingan rakyat sebagai prioritas pembahasan RUU di DPR, sehingga tidak mudah didepak dengan alasan teknis dan administratif.
Mesti juga disadari, jangan sampai keliaran politik legislasi di DPR menodai rasa keadilan rakyat, jangan sampai satu pengkhianat rakyat berdampak pada lembaga legislatif secara keseluruhan.
(Penulis adalah Pakar Hukum Tata Negara)