Oleh: Natalius Pigai
SEORANG Mama warga pengungsi berdiri dan berorasi dengan mengatakan, “dirinya melahirkan anak tidak untuk mati sia-sia. Ia membesarkan anaknya untuk menjaga Tanah Papua”. Sambungnya lagi. “Sebelum Indonesia ada di Papua, tidak pernah orang Papua dibunuh sembarang,” katanya.Inilah kata-kata yang keluar dari mulut mama Papua saat unjuk rasa protes penembakan aparat TNI terhadap 2 orang warga di Kabupaten Nduga, Provinsi Papua, Sabtu (18/7) lalu, yang kemudian menyulut aksi unjuk rasa pada Senin (20/7).
Korban bernama Elias Karunggu (45 tahun) tewas bersama seorang anaknya Seru Karunggu (20 tahun). Senin (20/7), keluarga korban bersama sejumlah masyarakat Kabupaten Nduga telah turun ke jalan melakukan aksi protes atas kasus penembakan ini.
Dalam aksi tersebut, masyarakat meminta pemerintah Indonesia bertanggungjawab terhadap seluruh insiden penembakan dan kekerasan, yang kini menyulut perlawanan dari warga Papua di Nduga. Pengunjuk rasa meminta Presiden Joko Widodo menarik pasukan TNI/Polri dan segera menghentikan operasi militer yang telah dan sedang berlangsung di wilayah Nduga.
Mereka menilai, aparat keamanan kerap salah sasaran dalam melakukan operasi. Sebab, beberapa warga tanpa memegang senjata telah menjadi sasaran tembak.
Pemerintah masih meletakkan militer sebagai instrumen penting untuk mencegah konflik di Papua. Bahkan, negara ini berpandangan bahwa jalan kekerasan militer itu satu-satunya cara untuk mempertahankan keutuhan wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia.
Namun, skenario Jakarta tidak tepat karena karena Jakarta tidak hanya menghadapi kelompok TPN/OPM. Tetapi wilayah Papua yang terpisah dengan Jakarta jika dilihat dari etnologi dan antropologi ragawi memiliki ciri-ciri fisik sebagai orang-orang berkulit hitam dan suku bangsa Melanesia.
Di dalam hukum pertahanan telah diajarkan bahwa kekuasaan negara akan jatuh dikala negara merdeka menghadapi satu rumpun etnik yang berbeda. Hal ini telah dibuktikan di Rusia melepaskan 13 negara Eropa Timur dan 3 negara Kaukasia Selatan. Yugoslavia pecah akibat multi etnik, Sudan Selatan dan Utara serta India, Pakistan dan Bangladesh. Karena itu, problem di Papua tidak akan selesai jika Jakarta mengambil jalan kekerasan militer.
Negara perlu mengambil jalan penyelesaian secara bermartabat melalui desekuritisasi. Desekuritiasasi diperlukan di Papua untuk menjamin keamanan dan perlindungan hak asasi manusia, menyusul tidak ada pergeseran kebijakan keamanan di wilayah itu.
Sudah bukan jamannya lagi untuk mempertahankan kekuatan militer sebagai satu-satunya jalan penyelesaian masalah Papua. Oleh karena itu, desekuritisasi di Papua segera dilakukan karena pendekatan militer melahirkan peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM.
Berbagai penangkapan, penyiksaan, pembunuhan dan operasi militer di papua telah menanam bibit-bibit kebencian tidak hanya kepada negara tetapi juga kepada penduduk sipil kaum migran.
Selama ini negara terkesan mengabaikan persoalan Papua. Persoalan Papua dianggap tidak penting, pemerintah hanya sibuk mengurusi pusat kekuasaan dan mengabaikan Papua.
Sejak tahun 1969 secara umum pola pendekatan keamanan Papua tidak bergeser. Pemerintah masih meletakkan militer sebagai instrumen penting untuk mencegah konflik di Papua. Namun, pemerintah tidak sadar bahwa sejak tahun 2010 rakyat Papua telah menempuh jalan penyelesaian masalah Papua secara diplomasi dan tanpa kekerasan.
Pola baru pendekatan di Papua ini telah menyebabkan simpati dari berbagai negara dan komunitas internasional. Namun untuk menghadapi kekerasan militer, sayap militer di TPN/OPM masih melakukan perlawanan. Militer dan TPN/OPM masih dianggap sah dalam konteks antar combatan (inter-combat) berdasarkan hukum perang, hukum humaniter dan konvensi Jenewa.
Persoalannya semua jenis operasi militer yang diterapkan di Papua yaitu operasi perbatasan, pengamanan daerah rawan dan obyek vital, operasi intelijen dan operasi teritorial. Rakyat Papua telah dan sedang menjadi korban penangkapan, penyiksaan, pembunuhan.
Otonomi Khusus Papua tidak lantas ikut mengubah pola pendekatan militer atau desekuritisasi, justru ada berbagai kebijakan yang dapat dilihat untuk nyatakan secara lantang Papua sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Salah satunya, dengan pengiriman aparat TNI/Polri secara terus menerus.
Sebagaimana juga dituliskan dalam hasil penelitian Imparsial yaitu; pertama, kebijakan keamanan yang melibatkan militer. Kedua, masih berjalannya operasi militer. Ketiga, diteruskannya pengiriman pasukan non-organik ke Papua. Keempat, perluasan dan penambahan struktur komando teritorial baru di Papua. Kelima, pembangunan pos-pos TNI di sekitar pembangunan sipil. Keenam, penumpukan dan penyimpangan anggaran APBN, APBD dan swasta untuk TNI terkait dengan operasi militer. Ketujuh, rencana pembangunan gelar kekuatan TNI yang baru di Papua.
Operasi militer menghadapi insurgensia domestik tidak dapat dibenarkan karena akan menyebabkan kerusakan substantial yaitu tragedi kemanusiaan. Rakyat Papua seakan-akan berada di daerah jajahan. Itulah sebabnya rakyat Papua menolak secara serempak, simultan, masif dan meluas menolak otonomi khusus.
(Penulis adalah aktivis kemanusiaan)