Oleh:Munawir Aziz
GUS DUR mengenang Paus John Paul II (Paulus Yohanes II), dalam sebuat surat yang disiarkan beberapa media pada April 2005. Surat berjudul 'In Memoriam Sri Paus Yohanes Paulus II' yang ditulis Gus Dur untuk memperingati wafatnya Paus Vatican itu.
Gus Dur menulis ungkapan bela sungkawa atas wafatnya Paus Yohannes Paulus II, yang merepresentasikan kedekatan dan wawasan mendalamnya dalam dialog antar agama.
"Di tengah-tengah berbagai bencana alam, seperti gempa bumi di Pulau Nias dan Pulau Simeuleu, sikap Paus Yohanes Paulus II itu menunjukkan sesuatu yang sangat menyegarkan dalam hubungan antar manusia," demikian tulis Gus Dur.
Gus Dur menambahkan betapa Paus Yohannes orang yang sangat pemaaf, bahkan kepada seorang yang berniat menembak mati dirinya.
"Perlu diingat akan sikap Paus Yohanes Paulus II yang memberikan maaf kepada Mehmet Ali Agca seorang berkebangsaan Turki yang menembaknya, disamping sikap-sikapnya yang menentang perang, menunjukkan kepribadian Beliau yang sangat menarik."
Dalam sepanjang hidupnya, Gus Dur berupaya membangun dialog antar pemuka agama untuk mencari solusi atas masalah-masalah kemanusiaan di level internasional. Gus Dur tidak lelah bergerak, berpikir, menyuarakan gagasan sekaligus memperjuangkan kebijakan dan program-program strategis untuk membela minoritas seraya menguatkan komunikasi lintas pemuka agama.
Ketika Paus John Paul II mengirimkan ucapan Idul Fitri pada Maret 1999, Gus Dur sangat mengapresiasi. "Muslim leaders could learn a lesson (from the pope). We should not think we are the most correct and behave as if we do not need other people," demikian tanggapan Gus Dur atas ucapan Idul Fitri dari Vatikan, yang disampaikan Paus John Paul II.
Gus Dur ketika menerima pesan damai Idul Fitri dari Vatikan (UCA News, 21 Maret 1999). Pesan damai dari Vatican, terkait Ramadhan dan Idul Fitri merupakan tradisi tahunan, untuk menjadi ruang dialog antara komunitas Kristen dan Islam di lintas negara. KH Abdurrahman Wahid (nama lengkap Gus Dur) merespons baik pesan damai Vatican itu, sebagai representasi pemimpin muslim Indonesia.
Wall Street Journal (WSJ), pada tahun 2005 menulis dalam sebuah op-ed kolom, bahwa Gus Dur.. "nothing less than a global struggle for the soul of Islam..". Gus Dur dianggap sebagai pejuang, intelektual dan aktivis muslim yang tidak lelah bersuara dan menyampaikan gagasan, mengabdikan diri untuk perdamaian dunia.
Relasi diplomatik Indonesia dan Vatican memang spesial. Tidak hanya disebabkan relasi agama, tapi juga dalam diplomasi politik internasional. Vatican merupakan negara Eropa pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Perwakilan Vatican secara resmi menyatakan dukungan pada 6 Juli 1947. Sebulan sebelumnya, pada 10 Juni 1947, Mesir juga mendukung kemerdekaan Indonesia.
Vatican membuka hubungan diplomatik di Jakarta pada 1947, pada tingkat Apostolic Delegate, yakni misi diplomatik setara dengan Kedutaan Besar namun tanpa konsulat dan tanpa kewenangan mengeluarkan visa. Selanjutnya, pada 25 Mei 1950, hubungan diplomatik antara Indonesia dan Vatikan secara resmi disepakati, yang terus berkembang hingga kini.
Presiden Soekarno pernah empat kali berkunjung ke Vatikan. Bung Karno memang dikenal punya hubungan diplomatik yang kuat di level internasional, dengan gagasan yang kuat dan jernih. Pada 1970, Paus Paulus VI melakukan lawatan diplomatik ke Indonesia. Dan, sembilan belas tahun kemudian, pada 1989, Paus Yohanes Paulus II berkunjung ke Indonesia.
Dalam seluruh catatan sejarah hidupnya, Gus Dur memang dekat dengan pemuka agama-agama. Gus Dur tidak hanya dekat dengan Paus dari Vatican, tapi juga dengan Rabbi Yahudi dari Jerusalem, hingga pemimpin agama-agama timur di China, Nepal, Tibet hingga India.
Sepanjang karir, pengabdian dan perjuangan hidupnya, Gus Dur memiliki tiga gagasan besar. "First was that true belief required religious freedom. Second, was his belief that the fundamental requirement for democracy or any form of just government, is equal treatment for all citizen before the law. Third, that respect for minorities is essential for social stability and national unity, particularly for Indonesia with its extraordinary diversity," demikian tulis Paul Wolfowitz (WSJ, 6/01/2010).
Dalam esai di Wall Street Journal, 6 Januari 2010, Wolfowitz mengungkapkan kekaguman kepada sosok Gus Dur yang memiliki dukungan luas di Indonesia. Dalam catatan Wolfowitz, Gus Dur merupakan sosok lengkap dengan beberapa kelebihan sebagai pemimpin muslim yang berpengaruh besar di Indonesia dan level internasional.
Gus Dur dianggap sebagai tokoh yang didengarkan kaum muda, mampu menyandingkan gagasan agama dan sains, sekaligus memperjuangkan demokrasi. Paul Wolfowitz merupakan mantan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia.
Ketika Gus Dur wafat, Wolfowitz sedang menjadi peneliti tamu di American Interprise Institute. Ia menuliskan obituari penting mengenang perjuangan Gus Dur, yang terbit di WSJ berjudul 'Wahid and the Voice of Moderate Islam'.
(Penulis adalah Sekretaris Umum PCINU United Kingdom)