Salah satu kritikan tajam disampaikan oleh Analis Politik Universitas Negeri jakarta, Ubedillah Badrun.
Ia mengatakan, setiap warga negara yang memenuhi syarat pencalonan maju Pilkada memang memiliki hak untuk nyemplung ke politik praktis, karena itu dibolehkan dan diatur oleh undang-undang (UU).
"Tetapi menjadi calon Walikota disaat ayahnya menjadi Presiden adalah contoh paling buruk dalam demokrasi Indonesia saat ini. Secara moral politik itu contoh politisi yang haus kekuasaan ditengah rakyat yang membenci dinasti politik," ujar Ubedillah Badrun aaat dihubungi Kantor Berita Politik RMOL, Sabtu (18/7).
Bentuk pencalonan Gibran, lanjut Dosen Sosiologi Politik Universitas Negri Jakarta (UNJ) ini, selain merusak demokrasi juga merusak kaderisasi di tubuh partai politik.
Karena menurutnya, kader-kader partai yang sudah merangkak dari bawah, mulai dari mengikuti kaderisasi partai, tiba-tiba dilompati oleh seorang putra sulung Presiden yang tidak pernah menjalani kerja berdarah-darah sebagai kader partai yang memulai jenjang kaderisasasi dari bawah.
"Proses keputusan Gibran menjadi calon walikota juga sesungguhnya penuh keanehan. Diantara keanehan tersebut adalah Gibran awalnya tidak disetujui PDIP Solo, kemudian langsung Gibran menghadap Megawati," terangnya.
"Ini menunjukan ambisi yang luar biasa dari seorang Gibran, entah ada apa di balik ambisi tersebut," demikian Ubedillah Badrun. (*)