GELORA.CO - Keyakinan besar Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan (LBP), bahwa Indonesia bisa menjadi produsen baterai terbesar dunia mendapat kritikan ekonom senior, Faisal Basri.
Pasalnya, menurut Faisal Basri, sebuah industri baterai bisa tumbuh dengan baik di tempat yang memang sudah banyak menggunakan baterai seperti mobil atau motor listrik.
Sementara, hingga saat ini industri otomotif berbasis listrik belum tumbuh dengan baik di Indonesia. Terlebih kebijakan yang mendukung tumbuhnya industri ini pun belum dilakukan pemerintah secara maksimal.
Sehingga, Faisal Basri pun meragukan keyakinan LBP bahwa Indonesia bisa jadi produsen baterai terbesar di dunia.
"Nah, Pak Luhut mimpi, mau bikin industri baterai terbesar di dunia ya hampir mustahil. Jadi produsen baterai terbesar di dunia? Omong kosong. Negara dapat apa? Nggak dapat apa apa, kecuali heboh-hebohnya," ucap Faisal Basri dalam webinar yang digelar Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Rabu (29/7).
Tak hanya itu, Faisal Basri juga mengkritisi LBP yang dinilainya memiliki porsi besar dalam menentukan kebijakan hilirisasi pertambangan di Indonesia. Bahkan, seolah-olah LBP punya peran lebih besar dari Menteri ESDM Arifin Tasrif.
"Pak Luhut ngomongnya hilirisasi, hilirisasi. Wajib, wajib, wajib. Nanti yang untung siapa? Indonesia nggak dapat apa-apa. Saya nggak tahu sekarang menteri pertambangannya (ESDM) Pak Luhut atau Pak Tasrif. Karena yang lebih sering saya dengar adalah Pak Luhut," ujarnya.
Faisal Basri berpandangan, kebijakan hilirisasi tambang justru bertolak belakang dengan kondisi industri manufaktur di Indonesia yang terus terperosok. Terlebih, Indonesia tidak menjadi bagian dari rantai supply global yang berbasis peningkatan nilai tambah.
Jadi hilirisasi itu untuk menopang industrialisasi di China. Sadar nggak sih kita?" demikian Faisal Basri. (Rmol)