GELORA.CO - Tepatnya pada Selasa, 30 Juli 2020 lalu gelombang kedua Tenaga Kerja Asing (TKA) China tiba di Bandara Haluoleo Kendari, Desa Ambaipua, Kecamatan Ranomeeto, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara (Sultra).
Namun, kedatangan mereka luput dari pantauan jurnalis lantaran tidak diizinkannya para pewarta melakukan peliputan oleh pihak TNI Angkatan Udara, dalam hal ini Pangkalan Udara (Lanud) Haluoleo (HLO) Kendari,
Saat dikonfirmasi, Komandan Pangkalan Udara (Danlanud) Haluoleo (HLO) Kendari, Kolonel Pnb Muzafar menjelaskan alasan mengapa pihaknya melarang masuk sejumlah wartawan saat peliputan.
"Itu kan bukan saya melarang. Kan sudah pernah diliput, dan saya punya wewenang penuh untuk intensitasnya keributan itu seperti apa. Saya engga mau ambil resiko (kalau) mas-mas wartawan ini ditunggangi sama teroris. Iya ditunggangi,” kata Danlanud disela rakor di Kantor DPRD Sultra, Senin (6/7).
Selain itu, Danlanud mengungkapkan ada regulasi yang mengatur terkait Undang-undang penyampaian pendapat dimuka umum tak boleh dilakukan dilingkungan instansi militer.
"Kita ketahui Undang-undang tentang penyampaian pendapat itu kan emang gak boleh di instansi militer karena ada gudang senjata. Siapa yang mau bertanggungjawab nanti kalau ada apa-apa,” imbuhnya.
Alasan lain yang ia sebutkan bahwa saat kedatangan gelombang pertama TKA China itu sudah pernah diliput oleh awak media, sehingga kedatangan gelombang kedua waktu itu dinilai tidak perlu dilakukan peliputan lagi.
“Kan udah saya kasih kesempatan waktu gelombang pertama (23 Juni 2020), sudah saya persilahkan. Bukan wartawannya, (tapi) yang menunggangi. Saya gak bisa kontrol. Waktu hari pertama sebenarnya saya udah kontrol, tapi saya gak bisa ngontrol dengan segitu banyaknya. Di situ (Markas Militer) ada gudang senjata. Di dalamnya ada bahan peledak. Kalau ada apa-apa nanti mensabotase, siapa yang ini (bertanggungjawab),” ujarnya.
Sontak, pernyataan Danlanud tersebut menuai kritik dari kalangan wartawan dan sejumlah organisasi profesi jurnalis diantaranya Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sultra dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kendari.
Menurut Ketua AJI Kendari, Zainal Ishaq, bahwa pernyataan Danlanud HLO Kendari sangat berlebihan.
"Saya memahami apabila ada kekhawatiran dari Danlanud HLO Kendari terkait pengamanan di Bandara. Akan tetapi kekhawatiran dengan menyebut wartawan berpotensi ditunggangi teroris adalah berlebihan," ujarnya.
Sebab, Zainal menjelaskan wartawan yang melakukan tugas peliputan dilapangan dapat dipastikan memiliki independensi, sesuai dengan kode etik jurnalistik yang berlaku dalam UU Pers.
Ia pun memastikan tak ada konflik kepentingan dari seorang wartawan dalam melakukan peliputan. Semata-mata hanya untuk mendapatkan informasi yang berimbang dan akurat untuk disampaikan ke publik.
"Saya mendesak agar Danlanud HLO Kendari memberikan klarifikasi atas pernyataannya tersebut. Karena itu sudah mencederai profesi wartawan," tandasnya.
Senada dengan Ketua AJI Kendari, Ketua IJTI Sultra, Asdar Zuula juga menegaskan bahwa pernyataan tersebut sangat berlebihan.
"Sama dengan pernyataan ketua AJI Kendari, saya tegaskan pernyataan Danlanud HLO Kendari itu terlalu berlebihan terkait statement yang menuding teman-teman wartawan itu berpotensi untuk ditunggangi oleh teroris," paparnya.
Sehingga, Asdar sangat menyayangkan pernyataan tersebut dikeluarkan oleh Danlanud HLO Kendari, dimana berpotensi berimbas terhadap citra dan profesionalisme seorang wartawan. []