Kultur Demokrasi Dihancurkan oleh Oligarki Partai Politik

Kultur Demokrasi Dihancurkan oleh Oligarki Partai Politik

Gelora News
facebook twitter whatsapp

Penulis: M Rizal Fadillah

Achmad Purnomo didukung oleh “arus bawah” partai dan kemudiannya “dilibas” oleh keputusan “atas” bahwa partai harus mendukung “putera mahkota” Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Walikota Solo. Purnomo pun secara terang terangan diundang ke istana. Tawaran jabatan diberikan sebagai kompensasi dari kursi yang terebut.

Peristiwa ini menggambarkan oligarki yang dominan dari partai politik yang menjadi pembunuh demokrasi. Benar bahwa proses yang terjadi adalah masalah internal dan kewenangan partai itu sendiri, akan tetapi mengingat partai politik adalah institusi dari suatu negara demokrasi maka “pembuldozeran” adalah perusakan kultur politik demokratis dalam sistem politik.

Kasus Purnomo hanya satu contoh dari penghancuran demokrasi pada partai politik. Realitasnya adalah hampir di semua partai politik yang ada di Indonesia itu tidak demokratis. Penentuan pimpinan partai di tingkat bawah, proses pencalegan hingga penetapan calon kepala daerah yang diajukan oleh partai seluruhnya ditentukan oleh pimpinan di tingkat atas. Ketua Umum DPP sangat berkuasa.

Oligarki atau otoritarian berjalan pada partai politik. Akibatnya partai politik kehilangan fungsi yang semestinya sebagai sarana pendidikan politik, sosialisasi politik, artikulasi politik, maupun agregasi politik. Ia hanya mampu melakukan fungsi rektkrutmen dan mempengaruhi kebijakan politik. Itupun untuk memenuhi kepentingan politik dirinya sendiri.

Berbagai kebijakan rezim yang tidak pro rakyat bahkan membuat kesusahan dan kegaduhan pada rakyat tak bisa dipisahkan dari perilaku politik partai politik yang memang tidak pro rakyat. Partai yang lehih berkhidmad pada kekuasaan atau elit kekuasaan. Demokrasi hanya menjadi slogan bahkan bualan.

Repotnya lagi ketika sistem politik yang dibangun adalah korporatokrasi maka persoalan kapital menjadi dominan. Untuk menjadi ketua partai di tingkat pusat maupun daerah, menjadi calon anggota legislatif “jadi” ataupun untuk diusung sebagai calon kepala daerah, maka faktor modal atau uang itu sangat menentukan. Pemilik modal dapat ikut pula berjudi untuk jabatan-jabatan politik yang tersedia.

Reformasi tidak membuat perilaku partai politik lebih baik. Partai politik tidak tereformasi. Justru semakin lebih doyan materi. Korupsi di lingkungan partai politik juga termasuk tinggi menyaingi birokrasi . Perjuangan untuk menjadikan Menteri atau jabatan di perusahaan milik negara juga bagian dari upaya “penggemukan” partai. Artinya menjadi mesin korupsi.

Kembali ke kasus Achmad Purnomo dan Gibran Rakabuming Raka yang didukung oleh hampir semua partai politik, merupakan gambaran dari hancurnya demokrasi oleh partai politik. Seorang figur yang semua tahu kualitas politiknya, karena anak Presiden, maka support politiknya menjadi luar biasa. Sumbernya tak lain adalah oligarkhi, otokrasi, atau ketumkrasi.

Demokrasi memang sedang dihancurkan oleh institusi demokrasi yang bernama partai politik. (*)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita